Agustinussungkalang's Blog

Just another WordPress.com weblog

FADJROEL RACHMAN CALON PRESIDEN INDEPENDEN 2014 Desember 10, 2009

Filed under: Politik — agustin @ 12:43 pm

Deklarasi Perdana

FADJROEL RACHMAN CALON PRESIDEN INDEPENDEN 2014

(Jakarta, 28 Oktober 2009 di Bakoel Koffie Cikini Raya)

Pada tanggal 20 Oktober 2014, Insya Allah akan dilantik Presiden Republik Indonesia di MPR-RI yang merupakan Presiden Independen pertama dalam sejarah demokrasi Indonesia. Itulah kemenangan demokrasi yang kita perjuangkan dalam Reformasi 1998, setelah menumbangkan rezim otoriter Soeharto-Orde Baru.Kabar gembira yang diharapkan semua warganegara Indonesia, sebagai bukti bahwa menjadi Presiden Republik Indonesia bukan saja dapat berasal dari jalur partai politik (parpol) atau gabungan partai politik, tetapi juga berasal dari jalur independen (perseorangan).

Dengan demikian, apabila calon presiden independen dapat berkompetisi dengan calon presiden dari parpol atau gabungan parpol pada tahun 2014 nanti, maka demokrasi kita merupakan pelaksanaan konstitusi UUD 1945 Pasal 1 ayat (2), “Kedaulatan berada di tangan rakyat” ; Pasal 27 ayat (1), “Segala warganegara bersamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan”; Pasal 28D ayat (3), “Setiap warganegara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.” Selain upaya keras kita mempertahankan prestasi reformasi 1998 yaitu pasal 7 UUD 1945, “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.” Presiden dua periode saja.
Perjuangan bersama untuk meloloskan capres independen mendapat dukungan penuh dari tiga hakim Mahkamah Konstitusi yaitu Abdul Mukhti Fajar, Maruarar Siahaan dan M.Akil Mochtar dengan dissenting opinion (pendapat berbeda) dalam putusan Mahkamah Konstitusi pada 17 Februari 2009 tentang capres independen. Selain dukungan moral dan intelektual dari Jimly Asshiddiqie (Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi RI).

Jadi perjuangan capres independen merupakan perjuangan untuk menegakkan hak konstitusional setiap warganegara Indonesia. Mengutip Rocky Gerung, pakar Filsafat dari UI bahwa, “Warganegara adalah subjek primer dalam sebuah negara, dan capres independen adalah manifestasi politiknya.” Karena itulah perjuangan capres independen merupakan perjuangan bersama semua warganegara Indonesia, tidak terkecuali parpol, “Para aktivis independen harus bekerjasama sekuat tenaga, bahu membahu dengan para aktivis parpol,” tegas Irman Putra Sidin, ahli hukum Tata Negara. Apalagi Mahkamah Konstitusi sudah menyetujui pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota melalui jalur independen (Keputusan MK No.5/PUU-V/ 23 Juli 2007). Jadi capres independen hanyalah langkah penyempurnaan amanat demokrasi dan konstitusi UUD 1945.
Apa yang akan kami lakukan untuk meloloskan capres independen pada Pilpres 8 Juli 2014 mendatang? Melalui Deklarasi Fadjroel Rachman Capres Independen 2014, maka kami yang didukung sepenuhnya oleh Gerakan Nasional Calon Independen (GNCI) akan melaksanakan tiga langkah hukum berikut: (1) Amandemen Kelima UUD 1945, sehingga Pasal 6A ayat 2 UUD 1945 akan berbunyi, “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum atau PERSEORANGAN sebelum pelaksanaan pemilihan umum.”; (2) Revisi UU no.42/2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden di DPR-RI khususnya terhadap Pasal 1 angka 4, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 13 ayat (1) UU No.42/2008; (3) Uji Materi Kedua UU No.42/2008 tentang Pemilihan Presiden dan wakil Presiden di Mahkamah Konstitusi khususnya terhadap Pasal 1 angka 4, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 13 ayat (1) UU No.42/2008.
Semoga perjuangan hak-hak konstitusional seluruh warganegara Indonesia ini agar dapat berkompetisi dalam Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden melalui jalur independen (perseorangan) pada Pemilu Presiden 2014 nanti diberkati Allah SWT dan didukung sepenuhnya oleh MPR, DPR, MK, Presiden, Partai Politik, LSM, Mahasiswa, Akademisi, Intelektual, Media Massa dan semua pihak pendukung demokrasi konstitusional.

Semoga semangat Sumpah Pemuda 81 tahun lalu juga memompa semangat kita semua untuk mewujudkan Indonesia yang demokratis, berkeadilan sosial dan membentuk Negara Kesejahteraan seperti yang dicita-citakan para pendiri bangsa Indonesia.

Jakarta, 28 Oktober 2009

Calon Presiden Independen 2014

 

Ayo Para Guru, Buktikan Kemampuan Menulismu! Desember 5, 2009

Filed under: Pendidikan — agustin @ 4:57 am

Di tengah berbagai macam kebijakan pendidikan yang memangkas kreatifitas dan profesionalitas guru, ketika berbagai kritik atas kebijakan pendidikan telah mental sebab mental politik otoritarian itu lebih berkuasa dan adu kekuatan itu semakin meminggirkan guru, ada satu daya kekuatan lain yang tersisa yang bisa menjadi daya tawar kekuatan guru untuk mengkritik kebijakan pemerintah dalam dunia pendidikan yaitu, menggoreskan pena tajam lewat menulis. Guru merupakan sebuah profesi yang memungkinkan pelakunya untuk melakukan aktifitas menulis. Mengapa? Pikiran saya begini, jika ditinjau dari segi kualifikasi pendidikan secara kapasitas intelektual sangat memadai, pengalaman lebih mendukung, dan dari segi waktu dan kesempatan terbuka lebar. Berbagai topik mungkin dapat dipilih untuk menjadi bahan tulisan, mulai dari masalah isu pendidikan, kebijakan pemerintah, masalah penelitian tindakan kelas, atau bahkan menulis buku atau artikel di media massa.
Namun, fakta di lapangan berbicara lain, bahwa sebagian besar guru khususnya di Kalimantan Barat ini masih enggan menulis. Tanpa bermaksud sedikit pun untuk menyombongkan diri, kita bisa mengamati rekan-rekan guru di sekeliling kita. Berapa banyak di antara mereka yang membuat perangkat mengajar (seperti silabus, analisis SK/KD, analisis format penilaian) sendiri sebagai tugas utama guru. Cobalah amati buku-buku di perpustakaan atau di toko-toko buku. Hitunglah, berapa banyak buku yang ditulis oleh para guru. Lihatlah juga di surat kabar, terutama surat kabar lokal! Hitunglah berapa banyak artikel yang ditulis oleh para guru. Pasti jarang sekali, bukan? Saya sendiri yang hanya guru honor, tulisan-tulisan yang saya kirim biasanya sering masuk. Untungnya di sekolah tempat saya mengajar ada beberapa guru, bahkan kepala sekolahnya yang sudah sering menulis dan telah dikenal oleh kalangan luas.
Benarkah guru tidak mampu menulis atau tidak terbiasa menulis? Jawabannya pasti bermacam ragam. Namun dalam kenyataannya, memang sangat sedikit guru yang menulis. Jangankan untuk menulis di media massa, jurnal atau yang lainnya, untuk membuat karya tulis yang diajukan dalam pengurusan kenaikan pangkat saja, banyak yang tidak bisa. Ironisnya lagi, untuk membuat perangkat mengajar, misalnya analisis SK / KD, modul, atau lainnya saja banyak yang angkat tangan. Kondisi seperti ini tentu merupakan sesuatu yang memprihatinkan bagi kita. Padahal, guru harus membuat karya tulis-salah satu unsur pengembangan profesi – kalau mau cepat naik pangkat.
Jika kita perhatikan dari tataran akademik, guru dari golongan III/b diwajibkan membuat karya pengembangan profesi minimal 2 untuk bisa naik pangkat ke golongan III/c. Dari golongan III/c ke III/d minimal 4 angka kredit pengembangan profesi. Golongan III/d ke IV/a = 6, golongan IV/a ke IV/b = 8, IV/b ke IV/c = 10, IV/c ke IV/d = 12, dan IV/e = 14. Nah para guru sahabatku, jika peraturan tersebut telah benar-benar diberlakukan maka sudah saatnya bagi guru golongan III untuk memulai melakukan pengembangan profesi, yang salah satunya dapat dilakukan dengan membuat karya tulis ilmiah. Menulis karya tulis sendiri adalah sebuah upaya pengembangan profesi dan pengembangan diri guru dalam mengekspresikan diri. Namun sekali lagi, budaya menulis di kalangan guru sangat rendah. Idealnya, seorang guru harus mau dan pintar menulis. Mengapa demikian?
Munculnya kampanye “MEMBUDAYAKAN MENULIS DI KALANGAN GURU” merupakan salah satu solusi dan wacana kritis yang tepat yang mampu menarik rangsangan para guru untuk mulai menulis. Guru sebagai subjek pendidik dan praktisi pendidikan tentu memiliki potensi menulis yang sangat besar. Ya, guru sebenarnya memiliki segudang bahan berupa pengalaman pribadi tentang sistem dan model pembelajaran yang dijalankan. Guru bisa menulis tentang indahnya menjadi guru, atau bisa juga menuliskan soal duka cita menjadi guru. Bisa pula memaparkan tentang sisi-sisi kehidupan guru dan sebagainya. Selama ini banyak orang menjadikan guru sebagai bahan perbincangan, sebagai bahan tulisan. Berbagai sorotan dan kritik dilemparkan orang dalam tulisan mengenai profesi guru yang semakin marginal ini. Berbagai keprihatinan terhadap profesi guru yang semakin langka ini, menjadi sejuta bahan untuk ditulis. Sayangnya, tulisan-tulisan mengenai guru, kebanyakan tidak ditulis oleh para guru. Padahal, kalau semua ini ditulis oleh guru, maka penulisan sang guru itu akan menjadi sebuah proses pembelajaran bagi semua orang.
Saya justru berpikir begini, sebenarnya para guru kita di Indonesia ini bukannya tidak mampu menulis atau melahirkan karya-karya tulis ilmiah yang berbobot, tetapi mungkin ini ditengarai oleh adanya sejumlah faktor yang menyebabkan para guru masih enggan menulis. Satu, kesibukan yang sangat padat. Sebagian besar guru mengatakan bahwa tugas guru sangat banyak terutama terkait dengan administrasi pembelajaran, ditambah lagi kalau mendapat tugas tambahan sebagai wakil kepala, ketua jurusan, pembimbing ekstra atau wali kelas sehingga konon nyaris tidak ada waktu untuk menulis.
Dua, terjebak rutinitas kerja. Aktifitas mengajar dari pagi sampai siang, bahkan sampai malam bagi sebagian guru yang suka memberi pelajaran tambahan tanpa sadar telah menjadikan guru terpola, yang hari-harinya diisi hanya untuk mengajar dan mengajar. Tiga, rendahnya motivasi menulis. Barangkali faktor ini yang paling ‘berbahaya’ ketika keinginan untuk menulis memang lemah atau sama sekali tidak ada. Empat, faktor kemalasan. Inilah sesungguhnya yang menurut saya banyak menjangkiti para guru. Ada perasaan berat dan seolah menjadi beban tersendiri ketika harus menulis. Kemalasan ini tidak hanya dalam aktivitas menulis tetapi juga membaca. Dan, ketika membaca sudah malas maka bagaimana mau menulis. Pelbagai faktor di atas, barangkali masih perlu didiskusikan lebih lanjut. Yang jelas, alasan kesibukan dan pekerjaan sebenarnya dapat disiasati ketika keinginan menulis telah tumbuh dalam diri.
Bagi saya pribadi, menulis adalah kegiatan positif untuk menuangkan segala ide/gagasan-gagasan besar yang tersembunyi. Menuangkan gagasan melalui tulisan memang tidak mudah karena menulis bukan hanya menuangkan apa yang diucapkan atau membahasatuliskan bahasa lisan saja. Menulis merupakan kemampuan menggunakan pola-pola bahasa secara tertulis untuk mengungkapkan suatu gagasan atau pesan (Rusyana, 1988:191).
Seorang guru jika ingin dikenal oleh pihak kalangan luas adalah dengan menulis. Ide menulis bisa muncul dari mana saja. Artinya di sini seorang guru bisa menggunakan banyak cara untuk memulai tahap pratulis. Menulis pada tataran yang lebih humanis bisa disebut sebagai kegiatan yang mampu mengakomodasi kepentingan berekspresi. Di sana sangat tercermin adanya aktualisasi berpikir secara demokratis.Tidak peduli apa disiplin ilmu kita / mata pelajaran yang kita ajarkan. Dengan kemampuan menulis, pembaca (termasuk anak-didik kita) akan semakin paham sejauh mana wawasan intelektual kita. Barometer ini sangat penting untuk memberi pencitraan positif betapa guru sangat dituntut bisa menulis.
Melengkapi paparan ini rasanya kita perlu bercermin pada tokoh-tokoh yang berjajar di lapis intelektual kritis. Mereka menjadi melambung namanya tentu tidak bisa lepas dari kepiawaiannya menulis. Sekadar menyebut, lihatlah Pak Todung Mulya Lubis (Praktisi Hukum/Pengajar Program Pascasarjana UI/ Direktur Transparency Internasional) yang esei-esei hukumnya bagus, ternyata juga kampiun menulis puisi. Eep Saifullah Fatah, kolumnis politik dari Faklutas Ilmu Politik UI ini bisa menulis cerpen dengan baik. Termasuk Hendrawan Nadesul, Faisal Basri, Yudi Latif serta sederet nama lain- tulisan-tulisannya terus mengalir.
Jujur saja, sebenarnya saya sendiri adalah guru honor di sebuah sekolah swasta yang gemar menulis. Maklum karena latar belakang saya dari Jurnalistik, jadi menulis merupakan sesuatu hal yang menyenangkan bagi saya. Dengan menulis, kita bisa mengeluarkan ide serta gagasan-gagasan yang kritis dan konstruktif, bukan hanya dalam bidang pendidikan, tetapi juga bisa masuk dalam ranah politik, hukum, budaya, sosial, dan sebagainya. Kita bisa mendapatkan kepuasan batin yang sulit tergambarkan jika tulisan demi tulisan kita bisa masuk dan muncul di beberapa media lokal maupun nasional. Contohnya saya, jika tulisan saya saja sudah terbit di koran lokal (umumnya tulisan saya berkutat seputar dunia linguistik) ada rasa bangga yang muncul dalam hati saya. Jika sebuah keinginan besar dalam menulis sudah muncul, bukan tidak mungkin dalam semalam kita bisa merampungkan beberapa judul tulisan.
Munculnya sebuah pemikiran yang mengatakan demikian “menulis hanya bisa dilakukan oleh guru yang memiliki bakat besar dalam bidang menulis”. Kalimat ini menurut saya SALAH KAPRAH. Sekarang kalau ada pertanyaan begini, mengapa para praktisi hukum, pengamat ekonomi, pengamat sosial, kalangan LSM dsb yang mengirim tulisan ke media massa artikelnya kerap bermunculan, apakah mereka berlatar belakang sebagai orang bahasa? Jawabannya, tentu saja tidak. Justru dengan menulislah mereka bisa dikenal oleh banyak pihak. Dengan menulis, mereka bisa menumpahkan segala uneg-uneg yang ada di kepala.
Mungkin saya punya pemikiran begini, saya tidak tahu apakah pemikiran saya ini relevan atau tidak relevan dengan yang terjadi sekarang ini. Salah satu cara untuk mengatasi keengganan para guru dalam menulis, bagi saya mungkin perlu ada suatu wadah yang secara simultan dan terarah menciptakan iklim dan nuansa menulis yang pada akhirnya mampu mendongkrak animo guru untuk menulis. Bukankah di Kalbar ini sudah ada komunitas guru menulis, saya pikir komunitas ini baru-baru saja dideklarasikan. Nah, ini akan menjadi sebuah terobosan baru bagi para guru di Kalbar untuk mulai berani bergabung dalam komunitas ini. Baik guru yang sudah mahir menulis maupun guru yang belum mahir dalam menulis.
Berbicara pada tataran ini, secara umum ada tiga alasan pentingnya wadah guru penulis. Pertama, menumbuhkan budaya menulis. Bagi saya, organisasi yang secara khusus dan fokus dalam dunia kepenulisan dapat diharapkan akan menciptakan tradisi menulis di kalangan guru. Para pengurus dan anggota yang tergabung dalam komunitas ini bisa saling berinteraksi satu sama lain untuk mewujudkan budaya menulis. Kedua, memahami dunia tentang kepenulisan. Melalui komunitas ini dimungkinkan terbantunya para guru yang sebelumnya masih kesulitan menulis atau bahkan malas untuk mulai menulis. Berbagai kegiatan dan event tertentu yang sekiranya bisa mendukung seperti workshop, diskusi, seminar, lokakarya, sharing, atau bedah buku dapat menjadi alternatif yang bermanfaat. Ketiga, masalah peningkatan kesejahteraan dan karir. Melalui organisasi guru penulis akan semakin ‘membanjir’ guru yang mau dan mampu menulis. Dampaknya langsung atau tidak akan berpengaruh terhadap kesejahteraan guru. Misal, ada guru yang menyusun buku sehingga bisa memperoleh royalti yang melebihi gajinya sendiri. Selain itu, kenaikan pangkat terutama bagi guru PNS akan berjalan lancar, termasuk guru swasta seperti saya ini yang ingin lolos sertifikasi. Tentu saja, kesejahteraan dan karir bukan tujuan utama, yang paling penting justru ketika para guru yang konon sekarang telah mendapat gelar baru sebagai kaum intelektual dapat memaksimalkan amal sosialnya melalui tulisan-tulisan yang mencerahkan untuk kemajuan bidang pendidikan.
Nah..!! mungkin dengan munculnya gagasan ini, paling tidak sedikit demi sedikit saya berharap akan mulai bermunculan semangat dan spirit dari para guru di Kalimantan Barat ini untuk mulai menulis. Di kota Pontianak sendiri kan… banyak memiliki surat kabar lokal yang senang menerbitkan artikel-artikel atau opini yang bernuansa pendidikan. Kalau para guru sudah membuktikan keberhasilan dalam bidang kepenulisan, giliran berikutnya adalah menularkan ilmu yang kita miliki kepada para peserta didik. Untuk itu, di akhir kata ini saya ingin berseru kepada para guru yang ada di Kalimantan Barat ini, semoga bisa didengarkan lewat judul tulisan saya ini: **“Ayo Para Guru, Buktikan Kemampuan Menulismu”**
Nama Pengirim : Agustinus Sungkalang, S.S.
Pekerjaan : Staf Pengajar Bahasa dan Sastra Indonesia SMP & SMA St. Fransiskus Asisi Pontianak, Alumnus Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Jurusan Sastra Indonesia,
Spesialisasi Aplikasi Jurnalistik dan Bahasa Terapan.

 

Ayo Para Guru, Buktikan Kemampuan Menulismu!

Filed under: Uncategorized — agustin @ 4:43 am

Di tengah berbagai macam kebijakan pendidikan yang memangkas kreatifitas dan profesionalitas guru, ketika berbagai kritik atas kebijakan pendidikan telah mental sebab mental politik otoritarian itu lebih berkuasa dan adu kekuatan itu semakin meminggirkan guru, ada satu daya kekuatan lain yang tersisa yang bisa menjadi daya tawar kekuatan guru untuk mengkritik kebijakan pemerintah dalam dunia pendidikan yaitu, menggoreskan pena tajam lewat menulis. Guru merupakan sebuah profesi yang memungkinkan pelakunya untuk melakukan aktifitas menulis. Mengapa? Pikiran saya begini, jika ditinjau dari segi kualifikasi pendidikan secara kapasitas intelektual sangat memadai, pengalaman lebih mendukung, dan dari segi waktu dan kesempatan terbuka lebar. Berbagai topik mungkin dapat dipilih untuk menjadi bahan tulisan, mulai dari masalah isu pendidikan, kebijakan pemerintah, masalah penelitian tindakan kelas, atau bahkan menulis buku atau artikel di media massa.
Namun, fakta di lapangan berbicara lain, bahwa sebagian besar guru khususnya di Kalimantan Barat ini masih enggan menulis. Tanpa bermaksud sedikit pun untuk menyombongkan diri, kita bisa mengamati rekan-rekan guru di sekeliling kita. Berapa banyak di antara mereka yang membuat perangkat mengajar (seperti silabus, analisis SK/KD, analisis format penilaian) sendiri sebagai tugas utama guru. Cobalah amati buku-buku di perpustakaan atau di toko-toko buku. Hitunglah, berapa banyak buku yang ditulis oleh para guru. Lihatlah juga di surat kabar, terutama surat kabar lokal! Hitunglah berapa banyak artikel yang ditulis oleh para guru. Pasti jarang sekali, bukan? Saya sendiri yang hanya guru honor, tulisan-tulisan yang saya kirim biasanya sering masuk. Untungnya di sekolah tempat saya mengajar ada beberapa guru, bahkan kepala sekolahnya yang sudah sering menulis dan telah dikenal oleh kalangan luas.
Benarkah guru tidak mampu menulis atau tidak terbiasa menulis? Jawabannya pasti bermacam ragam. Namun dalam kenyataannya, memang sangat sedikit guru yang menulis. Jangankan untuk menulis di media massa, jurnal atau yang lainnya, untuk membuat karya tulis yang diajukan dalam pengurusan kenaikan pangkat saja, banyak yang tidak bisa. Ironisnya lagi, untuk membuat perangkat mengajar, misalnya analisis SK / KD, modul, atau lainnya saja banyak yang angkat tangan. Kondisi seperti ini tentu merupakan sesuatu yang memprihatinkan bagi kita. Padahal, guru harus membuat karya tulis-salah satu unsur pengembangan profesi – kalau mau cepat naik pangkat.
Jika kita perhatikan dari tataran akademik, guru dari golongan III/b diwajibkan membuat karya pengembangan profesi minimal 2 untuk bisa naik pangkat ke golongan III/c. Dari golongan III/c ke III/d minimal 4 angka kredit pengembangan profesi. Golongan III/d ke IV/a = 6, golongan IV/a ke IV/b = 8, IV/b ke IV/c = 10, IV/c ke IV/d = 12, dan IV/e = 14. Nah para guru sahabatku, jika peraturan tersebut telah benar-benar diberlakukan maka sudah saatnya bagi guru golongan III untuk memulai melakukan pengembangan profesi, yang salah satunya dapat dilakukan dengan membuat karya tulis ilmiah. Menulis karya tulis sendiri adalah sebuah upaya pengembangan profesi dan pengembangan diri guru dalam mengekspresikan diri. Namun sekali lagi, budaya menulis di kalangan guru sangat rendah. Idealnya, seorang guru harus mau dan pintar menulis. Mengapa demikian?
Munculnya kampanye “MEMBUDAYAKAN MENULIS DI KALANGAN GURU” merupakan salah satu solusi dan wacana kritis yang tepat yang mampu menarik rangsangan para guru untuk mulai menulis. Guru sebagai subjek pendidik dan praktisi pendidikan tentu memiliki potensi menulis yang sangat besar. Ya, guru sebenarnya memiliki segudang bahan berupa pengalaman pribadi tentang sistem dan model pembelajaran yang dijalankan. Guru bisa menulis tentang indahnya menjadi guru, atau bisa juga menuliskan soal duka cita menjadi guru. Bisa pula memaparkan tentang sisi-sisi kehidupan guru dan sebagainya. Selama ini banyak orang menjadikan guru sebagai bahan perbincangan, sebagai bahan tulisan. Berbagai sorotan dan kritik dilemparkan orang dalam tulisan mengenai profesi guru yang semakin marginal ini. Berbagai keprihatinan terhadap profesi guru yang semakin langka ini, menjadi sejuta bahan untuk ditulis. Sayangnya, tulisan-tulisan mengenai guru, kebanyakan tidak ditulis oleh para guru. Padahal, kalau semua ini ditulis oleh guru, maka penulisan sang guru itu akan menjadi sebuah proses pembelajaran bagi semua orang.
Saya justru berpikir begini, sebenarnya para guru kita di Indonesia ini bukannya tidak mampu menulis atau melahirkan karya-karya tulis ilmiah yang berbobot, tetapi mungkin ini ditengarai oleh adanya sejumlah faktor yang menyebabkan para guru masih enggan menulis. Satu, kesibukan yang sangat padat. Sebagian besar guru mengatakan bahwa tugas guru sangat banyak terutama terkait dengan administrasi pembelajaran, ditambah lagi kalau mendapat tugas tambahan sebagai wakil kepala, ketua jurusan, pembimbing ekstra atau wali kelas sehingga konon nyaris tidak ada waktu untuk menulis.
Dua, terjebak rutinitas kerja. Aktifitas mengajar dari pagi sampai siang, bahkan sampai malam bagi sebagian guru yang suka memberi pelajaran tambahan tanpa sadar telah menjadikan guru terpola, yang hari-harinya diisi hanya untuk mengajar dan mengajar. Tiga, rendahnya motivasi menulis. Barangkali faktor ini yang paling ‘berbahaya’ ketika keinginan untuk menulis memang lemah atau sama sekali tidak ada. Empat, faktor kemalasan. Inilah sesungguhnya yang menurut saya banyak menjangkiti para guru. Ada perasaan berat dan seolah menjadi beban tersendiri ketika harus menulis. Kemalasan ini tidak hanya dalam aktivitas menulis tetapi juga membaca. Dan, ketika membaca sudah malas maka bagaimana mau menulis. Pelbagai faktor di atas, barangkali masih perlu didiskusikan lebih lanjut. Yang jelas, alasan kesibukan dan pekerjaan sebenarnya dapat disiasati ketika keinginan menulis telah tumbuh dalam diri.
Bagi saya pribadi, menulis adalah kegiatan positif untuk menuangkan segala ide/gagasan-gagasan besar yang tersembunyi. Menuangkan gagasan melalui tulisan memang tidak mudah karena menulis bukan hanya menuangkan apa yang diucapkan atau membahasatuliskan bahasa lisan saja. Menulis merupakan kemampuan menggunakan pola-pola bahasa secara tertulis untuk mengungkapkan suatu gagasan atau pesan (Rusyana, 1988:191).
Seorang guru jika ingin dikenal oleh pihak kalangan luas adalah dengan menulis. Ide menulis bisa muncul dari mana saja. Artinya di sini seorang guru bisa menggunakan banyak cara untuk memulai tahap pratulis. Menulis pada tataran yang lebih humanis bisa disebut sebagai kegiatan yang mampu mengakomodasi kepentingan berekspresi. Di sana sangat tercermin adanya aktualisasi berpikir secara demokratis.Tidak peduli apa disiplin ilmu kita / mata pelajaran yang kita ajarkan. Dengan kemampuan menulis, pembaca (termasuk anak-didik kita) akan semakin paham sejauh mana wawasan intelektual kita. Barometer ini sangat penting untuk memberi pencitraan positif betapa guru sangat dituntut bisa menulis.
Melengkapi paparan ini rasanya kita perlu bercermin pada tokoh-tokoh yang berjajar di lapis intelektual kritis. Mereka menjadi melambung namanya tentu tidak bisa lepas dari kepiawaiannya menulis. Sekadar menyebut, lihatlah Pak Todung Mulya Lubis (Praktisi Hukum/Pengajar Program Pascasarjana UI/ Direktur Transparency Internasional) yang esei-esei hukumnya bagus, ternyata juga kampiun menulis puisi. Eep Saifullah Fatah, kolumnis politik dari Faklutas Ilmu Politik UI ini bisa menulis cerpen dengan baik. Termasuk Hendrawan Nadesul, Faisal Basri, Yudi Latif serta sederet nama lain- tulisan-tulisannya terus mengalir.
Jujur saja, sebenarnya saya sendiri adalah guru honor di sebuah sekolah swasta yang gemar menulis. Maklum karena latar belakang saya dari Jurnalistik, jadi menulis merupakan sesuatu hal yang menyenangkan bagi saya. Dengan menulis, kita bisa mengeluarkan ide serta gagasan-gagasan yang kritis dan konstruktif, bukan hanya dalam bidang pendidikan, tetapi juga bisa masuk dalam ranah politik, hukum, budaya, sosial, dan sebagainya. Kita bisa mendapatkan kepuasan batin yang sulit tergambarkan jika tulisan demi tulisan kita bisa masuk dan muncul di beberapa media lokal maupun nasional. Contohnya saya, jika tulisan saya saja sudah terbit di koran lokal (umumnya tulisan saya berkutat seputar dunia linguistik) ada rasa bangga yang muncul dalam hati saya. Jika sebuah keinginan besar dalam menulis sudah muncul, bukan tidak mungkin dalam semalam kita bisa merampungkan beberapa judul tulisan.
Munculnya sebuah pemikiran yang mengatakan demikian “menulis hanya bisa dilakukan oleh guru yang memiliki bakat besar dalam bidang menulis”. Kalimat ini menurut saya SALAH KAPRAH. Sekarang kalau ada pertanyaan begini, mengapa para praktisi hukum, pengamat ekonomi, pengamat sosial, kalangan LSM dsb yang mengirim tulisan ke media massa artikelnya kerap bermunculan, apakah mereka berlatar belakang sebagai orang bahasa? Jawabannya, tentu saja tidak. Justru dengan menulislah mereka bisa dikenal oleh banyak pihak. Dengan menulis, mereka bisa menumpahkan segala uneg-uneg yang ada di kepala.
Mungkin saya punya pemikiran begini, saya tidak tahu apakah pemikiran saya ini relevan atau tidak relevan dengan yang terjadi sekarang ini. Salah satu cara untuk mengatasi keengganan para guru dalam menulis, bagi saya mungkin perlu ada suatu wadah yang secara simultan dan terarah menciptakan iklim dan nuansa menulis yang pada akhirnya mampu mendongkrak animo guru untuk menulis. Bukankah di Kalbar ini sudah ada komunitas guru menulis, saya pikir komunitas ini baru-baru saja dideklarasikan. Nah, ini akan menjadi sebuah terobosan baru bagi para guru di Kalbar untuk mulai berani bergabung dalam komunitas ini. Baik guru yang sudah mahir menulis maupun guru yang belum mahir dalam menulis.
Berbicara pada tataran ini, secara umum ada tiga alasan pentingnya wadah guru penulis. Pertama, menumbuhkan budaya menulis. Bagi saya, organisasi yang secara khusus dan fokus dalam dunia kepenulisan dapat diharapkan akan menciptakan tradisi menulis di kalangan guru. Para pengurus dan anggota yang tergabung dalam komunitas ini bisa saling berinteraksi satu sama lain untuk mewujudkan budaya menulis. Kedua, memahami dunia tentang kepenulisan. Melalui komunitas ini dimungkinkan terbantunya para guru yang sebelumnya masih kesulitan menulis atau bahkan malas untuk mulai menulis. Berbagai kegiatan dan event tertentu yang sekiranya bisa mendukung seperti workshop, diskusi, seminar, lokakarya, sharing, atau bedah buku dapat menjadi alternatif yang bermanfaat. Ketiga, masalah peningkatan kesejahteraan dan karir. Melalui organisasi guru penulis akan semakin ‘membanjir’ guru yang mau dan mampu menulis. Dampaknya langsung atau tidak akan berpengaruh terhadap kesejahteraan guru. Misal, ada guru yang menyusun buku sehingga bisa memperoleh royalti yang melebihi gajinya sendiri. Selain itu, kenaikan pangkat terutama bagi guru PNS akan berjalan lancar, termasuk guru swasta seperti saya ini yang ingin lolos sertifikasi. Tentu saja, kesejahteraan dan karir bukan tujuan utama, yang paling penting justru ketika para guru yang konon sekarang telah mendapat gelar baru sebagai kaum intelektual dapat memaksimalkan amal sosialnya melalui tulisan-tulisan yang mencerahkan untuk kemajuan bidang pendidikan.
Nah..!! mungkin dengan munculnya gagasan ini, paling tidak sedikit demi sedikit saya berharap akan mulai bermunculan semangat dan spirit dari para guru di Kalimantan Barat ini untuk mulai menulis. Di kota Pontianak sendiri kan… banyak memiliki surat kabar lokal yang senang menerbitkan artikel-artikel atau opini yang bernuansa pendidikan. Kalau para guru sudah membuktikan keberhasilan dalam bidang kepenulisan, giliran berikutnya adalah menularkan ilmu yang kita miliki kepada para peserta didik. Untuk itu, di akhir kata ini saya ingin berseru kepada para guru yang ada di Kalimantan Barat ini, semoga bisa didengarkan lewat judul tulisan saya ini: **“Ayo Para Guru, Buktikan Kemampuan Menulismu”**
Nama Pengirim : Agustinus Sungkalang, S.S.
Pekerjaan : Staf Pengajar Bahasa dan Sastra Indonesia SMP & SMA St. Fransiskus Asisi Pontianak, Alumnus Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Jurusan Sastra Indonesia,
Spesialisasi Aplikasi Jurnalistik dan Bahasa Terapan.