Agustinussungkalang's Blog

Just another WordPress.com weblog

FADJROEL RACHMAN CALON PRESIDEN INDEPENDEN 2014 Desember 10, 2009

Filed under: Politik — agustin @ 12:43 pm

Deklarasi Perdana

FADJROEL RACHMAN CALON PRESIDEN INDEPENDEN 2014

(Jakarta, 28 Oktober 2009 di Bakoel Koffie Cikini Raya)

Pada tanggal 20 Oktober 2014, Insya Allah akan dilantik Presiden Republik Indonesia di MPR-RI yang merupakan Presiden Independen pertama dalam sejarah demokrasi Indonesia. Itulah kemenangan demokrasi yang kita perjuangkan dalam Reformasi 1998, setelah menumbangkan rezim otoriter Soeharto-Orde Baru.Kabar gembira yang diharapkan semua warganegara Indonesia, sebagai bukti bahwa menjadi Presiden Republik Indonesia bukan saja dapat berasal dari jalur partai politik (parpol) atau gabungan partai politik, tetapi juga berasal dari jalur independen (perseorangan).

Dengan demikian, apabila calon presiden independen dapat berkompetisi dengan calon presiden dari parpol atau gabungan parpol pada tahun 2014 nanti, maka demokrasi kita merupakan pelaksanaan konstitusi UUD 1945 Pasal 1 ayat (2), “Kedaulatan berada di tangan rakyat” ; Pasal 27 ayat (1), “Segala warganegara bersamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan”; Pasal 28D ayat (3), “Setiap warganegara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.” Selain upaya keras kita mempertahankan prestasi reformasi 1998 yaitu pasal 7 UUD 1945, “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.” Presiden dua periode saja.
Perjuangan bersama untuk meloloskan capres independen mendapat dukungan penuh dari tiga hakim Mahkamah Konstitusi yaitu Abdul Mukhti Fajar, Maruarar Siahaan dan M.Akil Mochtar dengan dissenting opinion (pendapat berbeda) dalam putusan Mahkamah Konstitusi pada 17 Februari 2009 tentang capres independen. Selain dukungan moral dan intelektual dari Jimly Asshiddiqie (Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi RI).

Jadi perjuangan capres independen merupakan perjuangan untuk menegakkan hak konstitusional setiap warganegara Indonesia. Mengutip Rocky Gerung, pakar Filsafat dari UI bahwa, “Warganegara adalah subjek primer dalam sebuah negara, dan capres independen adalah manifestasi politiknya.” Karena itulah perjuangan capres independen merupakan perjuangan bersama semua warganegara Indonesia, tidak terkecuali parpol, “Para aktivis independen harus bekerjasama sekuat tenaga, bahu membahu dengan para aktivis parpol,” tegas Irman Putra Sidin, ahli hukum Tata Negara. Apalagi Mahkamah Konstitusi sudah menyetujui pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota melalui jalur independen (Keputusan MK No.5/PUU-V/ 23 Juli 2007). Jadi capres independen hanyalah langkah penyempurnaan amanat demokrasi dan konstitusi UUD 1945.
Apa yang akan kami lakukan untuk meloloskan capres independen pada Pilpres 8 Juli 2014 mendatang? Melalui Deklarasi Fadjroel Rachman Capres Independen 2014, maka kami yang didukung sepenuhnya oleh Gerakan Nasional Calon Independen (GNCI) akan melaksanakan tiga langkah hukum berikut: (1) Amandemen Kelima UUD 1945, sehingga Pasal 6A ayat 2 UUD 1945 akan berbunyi, “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum atau PERSEORANGAN sebelum pelaksanaan pemilihan umum.”; (2) Revisi UU no.42/2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden di DPR-RI khususnya terhadap Pasal 1 angka 4, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 13 ayat (1) UU No.42/2008; (3) Uji Materi Kedua UU No.42/2008 tentang Pemilihan Presiden dan wakil Presiden di Mahkamah Konstitusi khususnya terhadap Pasal 1 angka 4, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 13 ayat (1) UU No.42/2008.
Semoga perjuangan hak-hak konstitusional seluruh warganegara Indonesia ini agar dapat berkompetisi dalam Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden melalui jalur independen (perseorangan) pada Pemilu Presiden 2014 nanti diberkati Allah SWT dan didukung sepenuhnya oleh MPR, DPR, MK, Presiden, Partai Politik, LSM, Mahasiswa, Akademisi, Intelektual, Media Massa dan semua pihak pendukung demokrasi konstitusional.

Semoga semangat Sumpah Pemuda 81 tahun lalu juga memompa semangat kita semua untuk mewujudkan Indonesia yang demokratis, berkeadilan sosial dan membentuk Negara Kesejahteraan seperti yang dicita-citakan para pendiri bangsa Indonesia.

Jakarta, 28 Oktober 2009

Calon Presiden Independen 2014

 

Ayo Para Guru, Buktikan Kemampuan Menulismu! Desember 5, 2009

Filed under: Pendidikan — agustin @ 4:57 am

Di tengah berbagai macam kebijakan pendidikan yang memangkas kreatifitas dan profesionalitas guru, ketika berbagai kritik atas kebijakan pendidikan telah mental sebab mental politik otoritarian itu lebih berkuasa dan adu kekuatan itu semakin meminggirkan guru, ada satu daya kekuatan lain yang tersisa yang bisa menjadi daya tawar kekuatan guru untuk mengkritik kebijakan pemerintah dalam dunia pendidikan yaitu, menggoreskan pena tajam lewat menulis. Guru merupakan sebuah profesi yang memungkinkan pelakunya untuk melakukan aktifitas menulis. Mengapa? Pikiran saya begini, jika ditinjau dari segi kualifikasi pendidikan secara kapasitas intelektual sangat memadai, pengalaman lebih mendukung, dan dari segi waktu dan kesempatan terbuka lebar. Berbagai topik mungkin dapat dipilih untuk menjadi bahan tulisan, mulai dari masalah isu pendidikan, kebijakan pemerintah, masalah penelitian tindakan kelas, atau bahkan menulis buku atau artikel di media massa.
Namun, fakta di lapangan berbicara lain, bahwa sebagian besar guru khususnya di Kalimantan Barat ini masih enggan menulis. Tanpa bermaksud sedikit pun untuk menyombongkan diri, kita bisa mengamati rekan-rekan guru di sekeliling kita. Berapa banyak di antara mereka yang membuat perangkat mengajar (seperti silabus, analisis SK/KD, analisis format penilaian) sendiri sebagai tugas utama guru. Cobalah amati buku-buku di perpustakaan atau di toko-toko buku. Hitunglah, berapa banyak buku yang ditulis oleh para guru. Lihatlah juga di surat kabar, terutama surat kabar lokal! Hitunglah berapa banyak artikel yang ditulis oleh para guru. Pasti jarang sekali, bukan? Saya sendiri yang hanya guru honor, tulisan-tulisan yang saya kirim biasanya sering masuk. Untungnya di sekolah tempat saya mengajar ada beberapa guru, bahkan kepala sekolahnya yang sudah sering menulis dan telah dikenal oleh kalangan luas.
Benarkah guru tidak mampu menulis atau tidak terbiasa menulis? Jawabannya pasti bermacam ragam. Namun dalam kenyataannya, memang sangat sedikit guru yang menulis. Jangankan untuk menulis di media massa, jurnal atau yang lainnya, untuk membuat karya tulis yang diajukan dalam pengurusan kenaikan pangkat saja, banyak yang tidak bisa. Ironisnya lagi, untuk membuat perangkat mengajar, misalnya analisis SK / KD, modul, atau lainnya saja banyak yang angkat tangan. Kondisi seperti ini tentu merupakan sesuatu yang memprihatinkan bagi kita. Padahal, guru harus membuat karya tulis-salah satu unsur pengembangan profesi – kalau mau cepat naik pangkat.
Jika kita perhatikan dari tataran akademik, guru dari golongan III/b diwajibkan membuat karya pengembangan profesi minimal 2 untuk bisa naik pangkat ke golongan III/c. Dari golongan III/c ke III/d minimal 4 angka kredit pengembangan profesi. Golongan III/d ke IV/a = 6, golongan IV/a ke IV/b = 8, IV/b ke IV/c = 10, IV/c ke IV/d = 12, dan IV/e = 14. Nah para guru sahabatku, jika peraturan tersebut telah benar-benar diberlakukan maka sudah saatnya bagi guru golongan III untuk memulai melakukan pengembangan profesi, yang salah satunya dapat dilakukan dengan membuat karya tulis ilmiah. Menulis karya tulis sendiri adalah sebuah upaya pengembangan profesi dan pengembangan diri guru dalam mengekspresikan diri. Namun sekali lagi, budaya menulis di kalangan guru sangat rendah. Idealnya, seorang guru harus mau dan pintar menulis. Mengapa demikian?
Munculnya kampanye “MEMBUDAYAKAN MENULIS DI KALANGAN GURU” merupakan salah satu solusi dan wacana kritis yang tepat yang mampu menarik rangsangan para guru untuk mulai menulis. Guru sebagai subjek pendidik dan praktisi pendidikan tentu memiliki potensi menulis yang sangat besar. Ya, guru sebenarnya memiliki segudang bahan berupa pengalaman pribadi tentang sistem dan model pembelajaran yang dijalankan. Guru bisa menulis tentang indahnya menjadi guru, atau bisa juga menuliskan soal duka cita menjadi guru. Bisa pula memaparkan tentang sisi-sisi kehidupan guru dan sebagainya. Selama ini banyak orang menjadikan guru sebagai bahan perbincangan, sebagai bahan tulisan. Berbagai sorotan dan kritik dilemparkan orang dalam tulisan mengenai profesi guru yang semakin marginal ini. Berbagai keprihatinan terhadap profesi guru yang semakin langka ini, menjadi sejuta bahan untuk ditulis. Sayangnya, tulisan-tulisan mengenai guru, kebanyakan tidak ditulis oleh para guru. Padahal, kalau semua ini ditulis oleh guru, maka penulisan sang guru itu akan menjadi sebuah proses pembelajaran bagi semua orang.
Saya justru berpikir begini, sebenarnya para guru kita di Indonesia ini bukannya tidak mampu menulis atau melahirkan karya-karya tulis ilmiah yang berbobot, tetapi mungkin ini ditengarai oleh adanya sejumlah faktor yang menyebabkan para guru masih enggan menulis. Satu, kesibukan yang sangat padat. Sebagian besar guru mengatakan bahwa tugas guru sangat banyak terutama terkait dengan administrasi pembelajaran, ditambah lagi kalau mendapat tugas tambahan sebagai wakil kepala, ketua jurusan, pembimbing ekstra atau wali kelas sehingga konon nyaris tidak ada waktu untuk menulis.
Dua, terjebak rutinitas kerja. Aktifitas mengajar dari pagi sampai siang, bahkan sampai malam bagi sebagian guru yang suka memberi pelajaran tambahan tanpa sadar telah menjadikan guru terpola, yang hari-harinya diisi hanya untuk mengajar dan mengajar. Tiga, rendahnya motivasi menulis. Barangkali faktor ini yang paling ‘berbahaya’ ketika keinginan untuk menulis memang lemah atau sama sekali tidak ada. Empat, faktor kemalasan. Inilah sesungguhnya yang menurut saya banyak menjangkiti para guru. Ada perasaan berat dan seolah menjadi beban tersendiri ketika harus menulis. Kemalasan ini tidak hanya dalam aktivitas menulis tetapi juga membaca. Dan, ketika membaca sudah malas maka bagaimana mau menulis. Pelbagai faktor di atas, barangkali masih perlu didiskusikan lebih lanjut. Yang jelas, alasan kesibukan dan pekerjaan sebenarnya dapat disiasati ketika keinginan menulis telah tumbuh dalam diri.
Bagi saya pribadi, menulis adalah kegiatan positif untuk menuangkan segala ide/gagasan-gagasan besar yang tersembunyi. Menuangkan gagasan melalui tulisan memang tidak mudah karena menulis bukan hanya menuangkan apa yang diucapkan atau membahasatuliskan bahasa lisan saja. Menulis merupakan kemampuan menggunakan pola-pola bahasa secara tertulis untuk mengungkapkan suatu gagasan atau pesan (Rusyana, 1988:191).
Seorang guru jika ingin dikenal oleh pihak kalangan luas adalah dengan menulis. Ide menulis bisa muncul dari mana saja. Artinya di sini seorang guru bisa menggunakan banyak cara untuk memulai tahap pratulis. Menulis pada tataran yang lebih humanis bisa disebut sebagai kegiatan yang mampu mengakomodasi kepentingan berekspresi. Di sana sangat tercermin adanya aktualisasi berpikir secara demokratis.Tidak peduli apa disiplin ilmu kita / mata pelajaran yang kita ajarkan. Dengan kemampuan menulis, pembaca (termasuk anak-didik kita) akan semakin paham sejauh mana wawasan intelektual kita. Barometer ini sangat penting untuk memberi pencitraan positif betapa guru sangat dituntut bisa menulis.
Melengkapi paparan ini rasanya kita perlu bercermin pada tokoh-tokoh yang berjajar di lapis intelektual kritis. Mereka menjadi melambung namanya tentu tidak bisa lepas dari kepiawaiannya menulis. Sekadar menyebut, lihatlah Pak Todung Mulya Lubis (Praktisi Hukum/Pengajar Program Pascasarjana UI/ Direktur Transparency Internasional) yang esei-esei hukumnya bagus, ternyata juga kampiun menulis puisi. Eep Saifullah Fatah, kolumnis politik dari Faklutas Ilmu Politik UI ini bisa menulis cerpen dengan baik. Termasuk Hendrawan Nadesul, Faisal Basri, Yudi Latif serta sederet nama lain- tulisan-tulisannya terus mengalir.
Jujur saja, sebenarnya saya sendiri adalah guru honor di sebuah sekolah swasta yang gemar menulis. Maklum karena latar belakang saya dari Jurnalistik, jadi menulis merupakan sesuatu hal yang menyenangkan bagi saya. Dengan menulis, kita bisa mengeluarkan ide serta gagasan-gagasan yang kritis dan konstruktif, bukan hanya dalam bidang pendidikan, tetapi juga bisa masuk dalam ranah politik, hukum, budaya, sosial, dan sebagainya. Kita bisa mendapatkan kepuasan batin yang sulit tergambarkan jika tulisan demi tulisan kita bisa masuk dan muncul di beberapa media lokal maupun nasional. Contohnya saya, jika tulisan saya saja sudah terbit di koran lokal (umumnya tulisan saya berkutat seputar dunia linguistik) ada rasa bangga yang muncul dalam hati saya. Jika sebuah keinginan besar dalam menulis sudah muncul, bukan tidak mungkin dalam semalam kita bisa merampungkan beberapa judul tulisan.
Munculnya sebuah pemikiran yang mengatakan demikian “menulis hanya bisa dilakukan oleh guru yang memiliki bakat besar dalam bidang menulis”. Kalimat ini menurut saya SALAH KAPRAH. Sekarang kalau ada pertanyaan begini, mengapa para praktisi hukum, pengamat ekonomi, pengamat sosial, kalangan LSM dsb yang mengirim tulisan ke media massa artikelnya kerap bermunculan, apakah mereka berlatar belakang sebagai orang bahasa? Jawabannya, tentu saja tidak. Justru dengan menulislah mereka bisa dikenal oleh banyak pihak. Dengan menulis, mereka bisa menumpahkan segala uneg-uneg yang ada di kepala.
Mungkin saya punya pemikiran begini, saya tidak tahu apakah pemikiran saya ini relevan atau tidak relevan dengan yang terjadi sekarang ini. Salah satu cara untuk mengatasi keengganan para guru dalam menulis, bagi saya mungkin perlu ada suatu wadah yang secara simultan dan terarah menciptakan iklim dan nuansa menulis yang pada akhirnya mampu mendongkrak animo guru untuk menulis. Bukankah di Kalbar ini sudah ada komunitas guru menulis, saya pikir komunitas ini baru-baru saja dideklarasikan. Nah, ini akan menjadi sebuah terobosan baru bagi para guru di Kalbar untuk mulai berani bergabung dalam komunitas ini. Baik guru yang sudah mahir menulis maupun guru yang belum mahir dalam menulis.
Berbicara pada tataran ini, secara umum ada tiga alasan pentingnya wadah guru penulis. Pertama, menumbuhkan budaya menulis. Bagi saya, organisasi yang secara khusus dan fokus dalam dunia kepenulisan dapat diharapkan akan menciptakan tradisi menulis di kalangan guru. Para pengurus dan anggota yang tergabung dalam komunitas ini bisa saling berinteraksi satu sama lain untuk mewujudkan budaya menulis. Kedua, memahami dunia tentang kepenulisan. Melalui komunitas ini dimungkinkan terbantunya para guru yang sebelumnya masih kesulitan menulis atau bahkan malas untuk mulai menulis. Berbagai kegiatan dan event tertentu yang sekiranya bisa mendukung seperti workshop, diskusi, seminar, lokakarya, sharing, atau bedah buku dapat menjadi alternatif yang bermanfaat. Ketiga, masalah peningkatan kesejahteraan dan karir. Melalui organisasi guru penulis akan semakin ‘membanjir’ guru yang mau dan mampu menulis. Dampaknya langsung atau tidak akan berpengaruh terhadap kesejahteraan guru. Misal, ada guru yang menyusun buku sehingga bisa memperoleh royalti yang melebihi gajinya sendiri. Selain itu, kenaikan pangkat terutama bagi guru PNS akan berjalan lancar, termasuk guru swasta seperti saya ini yang ingin lolos sertifikasi. Tentu saja, kesejahteraan dan karir bukan tujuan utama, yang paling penting justru ketika para guru yang konon sekarang telah mendapat gelar baru sebagai kaum intelektual dapat memaksimalkan amal sosialnya melalui tulisan-tulisan yang mencerahkan untuk kemajuan bidang pendidikan.
Nah..!! mungkin dengan munculnya gagasan ini, paling tidak sedikit demi sedikit saya berharap akan mulai bermunculan semangat dan spirit dari para guru di Kalimantan Barat ini untuk mulai menulis. Di kota Pontianak sendiri kan… banyak memiliki surat kabar lokal yang senang menerbitkan artikel-artikel atau opini yang bernuansa pendidikan. Kalau para guru sudah membuktikan keberhasilan dalam bidang kepenulisan, giliran berikutnya adalah menularkan ilmu yang kita miliki kepada para peserta didik. Untuk itu, di akhir kata ini saya ingin berseru kepada para guru yang ada di Kalimantan Barat ini, semoga bisa didengarkan lewat judul tulisan saya ini: **“Ayo Para Guru, Buktikan Kemampuan Menulismu”**
Nama Pengirim : Agustinus Sungkalang, S.S.
Pekerjaan : Staf Pengajar Bahasa dan Sastra Indonesia SMP & SMA St. Fransiskus Asisi Pontianak, Alumnus Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Jurusan Sastra Indonesia,
Spesialisasi Aplikasi Jurnalistik dan Bahasa Terapan.

 

Ayo Para Guru, Buktikan Kemampuan Menulismu!

Filed under: Uncategorized — agustin @ 4:43 am

Di tengah berbagai macam kebijakan pendidikan yang memangkas kreatifitas dan profesionalitas guru, ketika berbagai kritik atas kebijakan pendidikan telah mental sebab mental politik otoritarian itu lebih berkuasa dan adu kekuatan itu semakin meminggirkan guru, ada satu daya kekuatan lain yang tersisa yang bisa menjadi daya tawar kekuatan guru untuk mengkritik kebijakan pemerintah dalam dunia pendidikan yaitu, menggoreskan pena tajam lewat menulis. Guru merupakan sebuah profesi yang memungkinkan pelakunya untuk melakukan aktifitas menulis. Mengapa? Pikiran saya begini, jika ditinjau dari segi kualifikasi pendidikan secara kapasitas intelektual sangat memadai, pengalaman lebih mendukung, dan dari segi waktu dan kesempatan terbuka lebar. Berbagai topik mungkin dapat dipilih untuk menjadi bahan tulisan, mulai dari masalah isu pendidikan, kebijakan pemerintah, masalah penelitian tindakan kelas, atau bahkan menulis buku atau artikel di media massa.
Namun, fakta di lapangan berbicara lain, bahwa sebagian besar guru khususnya di Kalimantan Barat ini masih enggan menulis. Tanpa bermaksud sedikit pun untuk menyombongkan diri, kita bisa mengamati rekan-rekan guru di sekeliling kita. Berapa banyak di antara mereka yang membuat perangkat mengajar (seperti silabus, analisis SK/KD, analisis format penilaian) sendiri sebagai tugas utama guru. Cobalah amati buku-buku di perpustakaan atau di toko-toko buku. Hitunglah, berapa banyak buku yang ditulis oleh para guru. Lihatlah juga di surat kabar, terutama surat kabar lokal! Hitunglah berapa banyak artikel yang ditulis oleh para guru. Pasti jarang sekali, bukan? Saya sendiri yang hanya guru honor, tulisan-tulisan yang saya kirim biasanya sering masuk. Untungnya di sekolah tempat saya mengajar ada beberapa guru, bahkan kepala sekolahnya yang sudah sering menulis dan telah dikenal oleh kalangan luas.
Benarkah guru tidak mampu menulis atau tidak terbiasa menulis? Jawabannya pasti bermacam ragam. Namun dalam kenyataannya, memang sangat sedikit guru yang menulis. Jangankan untuk menulis di media massa, jurnal atau yang lainnya, untuk membuat karya tulis yang diajukan dalam pengurusan kenaikan pangkat saja, banyak yang tidak bisa. Ironisnya lagi, untuk membuat perangkat mengajar, misalnya analisis SK / KD, modul, atau lainnya saja banyak yang angkat tangan. Kondisi seperti ini tentu merupakan sesuatu yang memprihatinkan bagi kita. Padahal, guru harus membuat karya tulis-salah satu unsur pengembangan profesi – kalau mau cepat naik pangkat.
Jika kita perhatikan dari tataran akademik, guru dari golongan III/b diwajibkan membuat karya pengembangan profesi minimal 2 untuk bisa naik pangkat ke golongan III/c. Dari golongan III/c ke III/d minimal 4 angka kredit pengembangan profesi. Golongan III/d ke IV/a = 6, golongan IV/a ke IV/b = 8, IV/b ke IV/c = 10, IV/c ke IV/d = 12, dan IV/e = 14. Nah para guru sahabatku, jika peraturan tersebut telah benar-benar diberlakukan maka sudah saatnya bagi guru golongan III untuk memulai melakukan pengembangan profesi, yang salah satunya dapat dilakukan dengan membuat karya tulis ilmiah. Menulis karya tulis sendiri adalah sebuah upaya pengembangan profesi dan pengembangan diri guru dalam mengekspresikan diri. Namun sekali lagi, budaya menulis di kalangan guru sangat rendah. Idealnya, seorang guru harus mau dan pintar menulis. Mengapa demikian?
Munculnya kampanye “MEMBUDAYAKAN MENULIS DI KALANGAN GURU” merupakan salah satu solusi dan wacana kritis yang tepat yang mampu menarik rangsangan para guru untuk mulai menulis. Guru sebagai subjek pendidik dan praktisi pendidikan tentu memiliki potensi menulis yang sangat besar. Ya, guru sebenarnya memiliki segudang bahan berupa pengalaman pribadi tentang sistem dan model pembelajaran yang dijalankan. Guru bisa menulis tentang indahnya menjadi guru, atau bisa juga menuliskan soal duka cita menjadi guru. Bisa pula memaparkan tentang sisi-sisi kehidupan guru dan sebagainya. Selama ini banyak orang menjadikan guru sebagai bahan perbincangan, sebagai bahan tulisan. Berbagai sorotan dan kritik dilemparkan orang dalam tulisan mengenai profesi guru yang semakin marginal ini. Berbagai keprihatinan terhadap profesi guru yang semakin langka ini, menjadi sejuta bahan untuk ditulis. Sayangnya, tulisan-tulisan mengenai guru, kebanyakan tidak ditulis oleh para guru. Padahal, kalau semua ini ditulis oleh guru, maka penulisan sang guru itu akan menjadi sebuah proses pembelajaran bagi semua orang.
Saya justru berpikir begini, sebenarnya para guru kita di Indonesia ini bukannya tidak mampu menulis atau melahirkan karya-karya tulis ilmiah yang berbobot, tetapi mungkin ini ditengarai oleh adanya sejumlah faktor yang menyebabkan para guru masih enggan menulis. Satu, kesibukan yang sangat padat. Sebagian besar guru mengatakan bahwa tugas guru sangat banyak terutama terkait dengan administrasi pembelajaran, ditambah lagi kalau mendapat tugas tambahan sebagai wakil kepala, ketua jurusan, pembimbing ekstra atau wali kelas sehingga konon nyaris tidak ada waktu untuk menulis.
Dua, terjebak rutinitas kerja. Aktifitas mengajar dari pagi sampai siang, bahkan sampai malam bagi sebagian guru yang suka memberi pelajaran tambahan tanpa sadar telah menjadikan guru terpola, yang hari-harinya diisi hanya untuk mengajar dan mengajar. Tiga, rendahnya motivasi menulis. Barangkali faktor ini yang paling ‘berbahaya’ ketika keinginan untuk menulis memang lemah atau sama sekali tidak ada. Empat, faktor kemalasan. Inilah sesungguhnya yang menurut saya banyak menjangkiti para guru. Ada perasaan berat dan seolah menjadi beban tersendiri ketika harus menulis. Kemalasan ini tidak hanya dalam aktivitas menulis tetapi juga membaca. Dan, ketika membaca sudah malas maka bagaimana mau menulis. Pelbagai faktor di atas, barangkali masih perlu didiskusikan lebih lanjut. Yang jelas, alasan kesibukan dan pekerjaan sebenarnya dapat disiasati ketika keinginan menulis telah tumbuh dalam diri.
Bagi saya pribadi, menulis adalah kegiatan positif untuk menuangkan segala ide/gagasan-gagasan besar yang tersembunyi. Menuangkan gagasan melalui tulisan memang tidak mudah karena menulis bukan hanya menuangkan apa yang diucapkan atau membahasatuliskan bahasa lisan saja. Menulis merupakan kemampuan menggunakan pola-pola bahasa secara tertulis untuk mengungkapkan suatu gagasan atau pesan (Rusyana, 1988:191).
Seorang guru jika ingin dikenal oleh pihak kalangan luas adalah dengan menulis. Ide menulis bisa muncul dari mana saja. Artinya di sini seorang guru bisa menggunakan banyak cara untuk memulai tahap pratulis. Menulis pada tataran yang lebih humanis bisa disebut sebagai kegiatan yang mampu mengakomodasi kepentingan berekspresi. Di sana sangat tercermin adanya aktualisasi berpikir secara demokratis.Tidak peduli apa disiplin ilmu kita / mata pelajaran yang kita ajarkan. Dengan kemampuan menulis, pembaca (termasuk anak-didik kita) akan semakin paham sejauh mana wawasan intelektual kita. Barometer ini sangat penting untuk memberi pencitraan positif betapa guru sangat dituntut bisa menulis.
Melengkapi paparan ini rasanya kita perlu bercermin pada tokoh-tokoh yang berjajar di lapis intelektual kritis. Mereka menjadi melambung namanya tentu tidak bisa lepas dari kepiawaiannya menulis. Sekadar menyebut, lihatlah Pak Todung Mulya Lubis (Praktisi Hukum/Pengajar Program Pascasarjana UI/ Direktur Transparency Internasional) yang esei-esei hukumnya bagus, ternyata juga kampiun menulis puisi. Eep Saifullah Fatah, kolumnis politik dari Faklutas Ilmu Politik UI ini bisa menulis cerpen dengan baik. Termasuk Hendrawan Nadesul, Faisal Basri, Yudi Latif serta sederet nama lain- tulisan-tulisannya terus mengalir.
Jujur saja, sebenarnya saya sendiri adalah guru honor di sebuah sekolah swasta yang gemar menulis. Maklum karena latar belakang saya dari Jurnalistik, jadi menulis merupakan sesuatu hal yang menyenangkan bagi saya. Dengan menulis, kita bisa mengeluarkan ide serta gagasan-gagasan yang kritis dan konstruktif, bukan hanya dalam bidang pendidikan, tetapi juga bisa masuk dalam ranah politik, hukum, budaya, sosial, dan sebagainya. Kita bisa mendapatkan kepuasan batin yang sulit tergambarkan jika tulisan demi tulisan kita bisa masuk dan muncul di beberapa media lokal maupun nasional. Contohnya saya, jika tulisan saya saja sudah terbit di koran lokal (umumnya tulisan saya berkutat seputar dunia linguistik) ada rasa bangga yang muncul dalam hati saya. Jika sebuah keinginan besar dalam menulis sudah muncul, bukan tidak mungkin dalam semalam kita bisa merampungkan beberapa judul tulisan.
Munculnya sebuah pemikiran yang mengatakan demikian “menulis hanya bisa dilakukan oleh guru yang memiliki bakat besar dalam bidang menulis”. Kalimat ini menurut saya SALAH KAPRAH. Sekarang kalau ada pertanyaan begini, mengapa para praktisi hukum, pengamat ekonomi, pengamat sosial, kalangan LSM dsb yang mengirim tulisan ke media massa artikelnya kerap bermunculan, apakah mereka berlatar belakang sebagai orang bahasa? Jawabannya, tentu saja tidak. Justru dengan menulislah mereka bisa dikenal oleh banyak pihak. Dengan menulis, mereka bisa menumpahkan segala uneg-uneg yang ada di kepala.
Mungkin saya punya pemikiran begini, saya tidak tahu apakah pemikiran saya ini relevan atau tidak relevan dengan yang terjadi sekarang ini. Salah satu cara untuk mengatasi keengganan para guru dalam menulis, bagi saya mungkin perlu ada suatu wadah yang secara simultan dan terarah menciptakan iklim dan nuansa menulis yang pada akhirnya mampu mendongkrak animo guru untuk menulis. Bukankah di Kalbar ini sudah ada komunitas guru menulis, saya pikir komunitas ini baru-baru saja dideklarasikan. Nah, ini akan menjadi sebuah terobosan baru bagi para guru di Kalbar untuk mulai berani bergabung dalam komunitas ini. Baik guru yang sudah mahir menulis maupun guru yang belum mahir dalam menulis.
Berbicara pada tataran ini, secara umum ada tiga alasan pentingnya wadah guru penulis. Pertama, menumbuhkan budaya menulis. Bagi saya, organisasi yang secara khusus dan fokus dalam dunia kepenulisan dapat diharapkan akan menciptakan tradisi menulis di kalangan guru. Para pengurus dan anggota yang tergabung dalam komunitas ini bisa saling berinteraksi satu sama lain untuk mewujudkan budaya menulis. Kedua, memahami dunia tentang kepenulisan. Melalui komunitas ini dimungkinkan terbantunya para guru yang sebelumnya masih kesulitan menulis atau bahkan malas untuk mulai menulis. Berbagai kegiatan dan event tertentu yang sekiranya bisa mendukung seperti workshop, diskusi, seminar, lokakarya, sharing, atau bedah buku dapat menjadi alternatif yang bermanfaat. Ketiga, masalah peningkatan kesejahteraan dan karir. Melalui organisasi guru penulis akan semakin ‘membanjir’ guru yang mau dan mampu menulis. Dampaknya langsung atau tidak akan berpengaruh terhadap kesejahteraan guru. Misal, ada guru yang menyusun buku sehingga bisa memperoleh royalti yang melebihi gajinya sendiri. Selain itu, kenaikan pangkat terutama bagi guru PNS akan berjalan lancar, termasuk guru swasta seperti saya ini yang ingin lolos sertifikasi. Tentu saja, kesejahteraan dan karir bukan tujuan utama, yang paling penting justru ketika para guru yang konon sekarang telah mendapat gelar baru sebagai kaum intelektual dapat memaksimalkan amal sosialnya melalui tulisan-tulisan yang mencerahkan untuk kemajuan bidang pendidikan.
Nah..!! mungkin dengan munculnya gagasan ini, paling tidak sedikit demi sedikit saya berharap akan mulai bermunculan semangat dan spirit dari para guru di Kalimantan Barat ini untuk mulai menulis. Di kota Pontianak sendiri kan… banyak memiliki surat kabar lokal yang senang menerbitkan artikel-artikel atau opini yang bernuansa pendidikan. Kalau para guru sudah membuktikan keberhasilan dalam bidang kepenulisan, giliran berikutnya adalah menularkan ilmu yang kita miliki kepada para peserta didik. Untuk itu, di akhir kata ini saya ingin berseru kepada para guru yang ada di Kalimantan Barat ini, semoga bisa didengarkan lewat judul tulisan saya ini: **“Ayo Para Guru, Buktikan Kemampuan Menulismu”**
Nama Pengirim : Agustinus Sungkalang, S.S.
Pekerjaan : Staf Pengajar Bahasa dan Sastra Indonesia SMP & SMA St. Fransiskus Asisi Pontianak, Alumnus Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Jurusan Sastra Indonesia,
Spesialisasi Aplikasi Jurnalistik dan Bahasa Terapan.

 

Wartawan, Politisi & Kebebasan Pers (*) Oktober 31, 2009

Filed under: Politik — agustin @ 1:50 pm

Pandangan klasik yang dikemukakan de Sola Pool (1972) mengenai posisi wartawan terhadap penguasa (negarawan) adalah bahwa wartawan mengkonotasikan dirinya sebagai sebagai The St. George, sementara pemerintah sebagai The Dragon. Dari jargon jurnalistik yang ada hal ini lebih dikenal dengan istilah relationship of government and the media[1]. Jargon ini berasal dari Amerika Serikat karena disana keadaan semacam ini sesungguhnya hanya terjadi di ibukota Washington DC dan mereka percaya hubungan dengan pemerintah memang demikian. Jadi wartawan dengan kata lain tidak bisa dipaksa untuk memberitakan sesuatu yang bersumber berasal dari pemerintah.

Di Amerika Serikat pers begitu bebas untuk memberitakan. Wartawan memiliki keluasaan yang besar untuk mencari dan menulis apa yang mereka suka. Di negara demokrasi, peran pers berbeda dengan negara otoriter[2]. Di negara yang menganut sistem demokrasi, maka pers berfungsi sebagai watchdog terhadap pemerintahnya. Pers selain sebagai kawan juga lawan. Hubungan antara wartawan, elit politik dan pemerintah begitu mewarnai perkembangan pers disana. Meskipun pemerintah memiliki kontrol yang kuat terhadap pers. Kebebasan ini secara implisit[3] disebutkan dalam amandemen pertama dari konstitusi Amerika Serikat, bahwa media massa diharapkan memperoleh akses atas government records.

Di Amerika Serikat sendiri dalam seabad terakhir sangat banyak problem yang muncul berkaitan dengan hubungan pers yang bebas dengan pemerintah. Seperti keinginan pemerintah Amerika Serikat terhadap media untuk bersikap patriotik dalam pemberitaan. Sikap ini diperlihatkan oleh gedung putih setelah negara itu menerima serangan 11 September 2001 serta dalam peliputan invasi ke Irak. Akibatnya media Amerika begitu berat sebelah dalam pemberitaan demi menjaga kredibilitas “penguasa” akibat serangan 11 September. Sikap ini dikritik oleh Danny Schechter[4] dalam buku The Death of Media and The Fight to Save Democracy (2007). Ia mengatakan dalam sistem politik dan media yang diselimuti oleh tipu daya, terdapat kecenderungan dari para politisi dan jurnalis untuk mengikuti narasi yang dominan, yang enggan mempertanyakan apa yang selama ini terjadi sekalipun jelas-jelas semua ini salah besar.

Jadi bagaimana pers harus bersikap? Menurut Altschull dalam buku From Milton to McLuhan, The Ideas Behind American Journalism (1990) menerangkan di Amerika Serikat terdapat empat hal dalam keyakinan pers yaitu (1) Pers bebas dari campur tangan luar, dari pemerintah atau dari pemasang iklan bahkan dari publik, (2) Pers “melayani hak publik untuk tahu”, (3) Pers mempelajari dan menyajikan kebenaran, (4) Pers melaporkan fakta secara objektif dan adil (fair). Di negara-negara liberal-demokratik[5], para analis pers mengidentifikasi tiga harapan, kadang empat terhadap media massa yaitu media diharapkan dapat memberikan informasi, melakukan hiburan sebagai pengawas terhadap penguasa dan untuk mengiklankan apa yang tersedia dipasar. Dengan demikian diasumsikan bahwa pers harus memberikan informasi yang memungkinkan masyarakat untuk membuat keputusan yang demokratik.

Lalu apa makna watchdog function pers di Amerika Serikat?. Dalam praktek peran pers terhadap pemerintah beragam antara satu negara dengan negara lain. Dalam banyak kasus hubungan itu lebih bersifat symbiotic realationship dan sangat tergantung dari ideologi dari negaranya masing-masing. Di Amerika Serikat jurnalis dan pejabat publik melihat fungsi media dalam perspektif yang berbeda. Sementara masyarakat umum melihat dalam pandangan yang lain[6].

Sejumlah kasus pers yang mewarnai kebebasan pers di Amerika Serikat lebih dominan tentang pencemaran nama baik[7]. Setiap warganegara yang merasa dirugikan reputasinya oleh suatu pemberitaan pers tidak saja dimungkinkan, tetapi secara tidak langsung juga didorong untuk mengajukan gugatan perdata. Meskipun perlindungan terhadap kebebasan pers di Amerika Serikat harus diakui sangat kuat, khususnya karena klausal dalam first Amendment konstutusi, sehingga tidak mudah dalam menjerat pers dengan pasar pasar penghinaan.

Sampai sekarang di 17 negara bagian di Amerika Serikat masih memberlakukan Criminal Libel Law, walaupun penerapan pasal-pasal pidana diakui makin jarang. Di 17 negara bagian itu, wartawan yang terbukti melakukan kejahatan serius atau penghinaan dengan unsur actual malice dapat dijebloskan dalam penjara. Bahkan membangkang perintah hakim untuk membuka identitas sumber berita pun diancam kurungan badan[8]. Semua itu bukan hanya ketentuan di atas kertas namun sekali kali diterapkan oleh hakim. Meskipun demikian, tak ada yang mengklaim bahwa kebebasan pers di Amerika Serikat menghadapi ancaman serius. Pers di Amerika Serikat tetap di akui sebagai salah satu pers yang paling bebas di dunia. Namun masih kalah dengan negara Swedia[9] yang memegang rangking pertama dalam perspektif kebebasan pers di dunia saat ini.

Lalu bagaimana dengan negara Indonesia? Perkembangan demokrasi disuatu negara ditandai dengan adanya kebebasan pers. Di Indonesia kebebasan pers dimulai sejak bergulir reformasi yang ditandai turunnya Soeharto dari puncak kekuasaan selama 32 tahun. Perjalanan pers di Indonesia pasca kepemimpinan otoritrian birokratis menunjukkan perkembangan yang positif atas pertumbuhan industri media massa dalam aspek kuantitas dimana banyak muncul media-media baru baik cetak maupun elektronik sehingga meningkatkan persaingan diantara pelaku industri media itu sendiri.

Kehadiran Undang Undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers sebagai turunan dari amandemen ke dua UUD 45 memberi harapan baru bagi kebebasan pers di Indonesia yang selama 32 tahun di idam-idamkan oleh setiap insan pers. Konsekuensi dari komitmen demokrasi inilah yang kemudian menjadi momentum begulirnya freedom of the press. Namun dalam perkembangan sekarang, pers nasional benar-benar bebas bukan kepalang. Padahal freedom of the press[10] adalah istilah untuk merujuk jaminan atas hak warga memperoleh informasi sebagai dasar dalam membentuk sikap dan pendapat, baik dalam dalam konteks sosial maupun estetis.

Matriks Periode Strategis Kebebasan Pers Indonesia[11]

No
AWAL ORDE BARU1970 – 1980 MASA ORDE BARU1980 – 1998 ORDE REFORMASI1998

1
Pers : Agent of Devolopment* Pers disubsidi* Pers diproteksi Pers Partner Pemerintah* Pers disubsidi* Pers diproteksi* Pers dibina Pers sebagai Social Control* Pers Mandiri* Pers Bersaing Bebas(I.H.T, – A.W.J)CNN, CNBC, BBC

2
* Pers dibina* Belum ada U.U. Pokok Pers* Belum ada U.U. Penyiaran* Keputusan Berdasarkan kasus * U.U. Pokok Pers menekankanPers Bebas dan Bertanggungjawab* Tanggung jawab lebih di depan * U.U. Pokok Pers yangmengacu pada KebebasanPers* Pers sebagai Institudi Bisnis

3
* Pers Alat Pembangunan* Pers bagian dariPembangunan * Pers sebagai alat PolitikPemerintah* Pembredelan * Pers sebagai Social Control* Tidak ada SIUPP

B. Pembahasan
Betulkan kebebasan pers di Indonesia mengalami kemajuan atau malah kemunduran dalam arti seluas luasnya? Betulkan para jurnalis terutama pelaku industri media tidak bisa memaknai perbedaan antara freedom of the press dengan free of press? Lalu dimana letak kesamaan dan perbedaan kebebasan pers yang ada di Indonesia saat ini dengan di Amerika Serikat? Mengingat Indonesia sebagai negara berkembang dan memiliki budaya normatif (ketimuran/melayu) yang masih dipegang kuat oleh sebagian besar masyarakat. Itulah pertanyaan-pertanyaan yang mengusik pemerhati pers, akademisi, birokrat ataupun masyarakat Indonesia pada umumnya dalam melihat perkembangan pers tanah air pasca orde baru. Dikalangan pekerja pers sendiri juga belum ada satu konsensus tentang wujud kebebasan pers yang cocok dengan ciri khas ke Indonesiaan. Apakah harus mengikuti gaya barat? Atau paradoks seperti sekarang ini.

Bila merujuk de Sola Pool (1972)[12] bahwa hubungan wartawan dengan para politisi seperti halnya yang terjadi Amerika Serikat, menurut penulis juga dialami dalam tubuh pers Indonesia sekarang terutama sejak bergulir reformasi. Namun tidak pada jaman orde baru. Dalam era reformasi, pers nasional benar-benar bebas mengkritik pemerintah dengan keras. Wartawan sebagai pemberi informasi kepada rakyat tidak takut lagi pada pemerintah. Mereka ini benar-benar menjalankan fungsi pers sebagai kontrol sosial. Dulu wartawan Indonesia dipaksa untuk memberitakan suatu sumber berasal dari pemerintah. Kini tidak lagi karena keberadaan Undang Undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers telah mengamatkan kebebasan mutlak.

Lahirnya undang undang tersebut tersebut sebagai pengejawantahan kemerdekaan pers yang bebas dan bertanggungjawab. Peraturan itu sebagai landasan legal bagi media dalam memberitakan segala hal, termasuk mengkritik negara, kontrol sosial, pendidikan dan hiburan bagi masyarakat. Melaksanakan kerja-kerja jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, elektronik dan media lainnya yang tertuang dalam pasal 1 butir 1 Undang Undang Pers[13]. Kebebasan pers harus dibayar dengan kerja profesional, bertanggung jawab dan menjaga independensinya.

Pers memiliki beban moril, menjaga kepercayaan. Bekerja secara profesional berdasarkan kerja-kerja jurnalistik dengan mengindahkan Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) yang dibuat bersama oleh Dewan Pers dan seluruh elemen kewartawanan dan media. Bertanggung jawab secara hukum dengan mematuhi segala aturan hukum dan berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum. Menghilangkan keberpihakan, menjaga netralitas dengan berita yang tepat, akurat dan benar serta mengkritik dan mengawasi segala bentuk ketimpangan. Pers selayaknya menjaga kebebasannya dengan tidak bertindak kebablasan.

Angin segar kebebasan pers, mengantarkan penyajian informasi cenderung lepas dan tidak terkontrol. Hak media untuk memberitakan, mendapatkan informasi dan meramunya, ternyata sangat berpengaruh terhadap kepentingan media itu sendiri. Kebebasan adalah ketakbebasan yang mengarahkan media cenderung dikritik masyarakat karena memberitakan peristiwa terkadang tidak mengindahkan norma-norma susila, pembebasan pembatasan umur komsumtif yang melahirkan tindakan anarkis di masyarakat dan kebebasan pemilik modal dan politikus menguasai membuat kaca mata kuda dalam pemberitaan yang memihak. Media kemudian terjerat kepentingan kapital sebagai pemilik modal.

Bebasnya pers, cenderung menjadi kesempatan birokrat, pengusaha dan politikus melanggengkan kekuasaannya. Kebebasan media juga menjadi kebebasan untuk dimiliki siapa saja, termasuk yang ingin menjaga kekuasaan dan keuntungan semata. Telah menjadi rahasia umum, media di Indonesia disusupi pemilik kantong tebal untuk mendirikan dan menanamkan sahamnya. Tak ayal lagi, beberapa media kemudian membungkus berita kritik dan pengungkapan kasus-kasus kejanggalan kejahatan birokrat, pengusaha dan politikus dengan membalikkan media dengan penyajian infotaimen, sinetron dan musik yang porsinya lebih besar. Lahirlah media yang bebas, vulgar dan cenderung tidak beretika.

Perlawanan pers yang telah mendapatkan kebebasan, tanpa disadari bukan hanya perlu sebagai lembaga ke-empat penyeimbang kekuatan legislatif, yudikatif dan eksekutif yang mengontrol dan mengkritik. Tapi pers, kini memiliki lawan baru yakni pers yang memiliki keberpihakan, kepentingan dan idiologi tertentu yang cenderung merusak masyarkat. Pers idealis perlu membuat patron yang jelas, garis kerja profesional dan tindakan riil terhadap berbagai perilaku pers disisi yang lain. Merusak citra pers dengan menyembunyikan fakta, mengurangi informasi dan membesar-besarkan informasi yang membodohi, tidak bernilai berita dan tidak memiliki kepentingan bagi masyarakat.

Secara umum, Daniel Dhakidae, melalui desertasinya di Cornell University tentang The State, The Rise of Capital and The Fall of Political Journalism: Political Economy of Indonesia News Industry, menjelaskan pengaruh struktur dalam menekan kebebasan pers di Indonesia. Terdapat korelasi yang kuat antara struktur kekuasaan dan kebebasan pers. Manakala struktur kekuasaan menguat, kebebasan pers melemah. Sebaliknya, jika struktur kekuasaan melemah, kebebasan pers menguat (Dhakidae, 1991).

Lalu bagaimana dengan kondisi Indonesia sekarang? Kekuatan-kekuatan pemerintah mestinya adalah yang paling besar saat ini karena legitimasinya relatif sangat tinggi. Namun berlawan dengan asumsi Dhakidae, bahwa kekuatan pers juga terlihat amat kuat. Pers seakan bebas memberitakan apa saja tentang segala hal, termasuk tentang pejabat pemerintah. Beberapa pers terkesan “kebablasan” dan seakan tanpa batas lagi. Banyak kasus memperlihatkan betapa ketika satu pihak yang merasa dirugikan oleh sebuah media berniat menuntut, ternyata media dimaksud sudah tidak terbit lagi karena tidak mampu bertahan secara finansial sehingga hanya terbit satu hingga enam kali saja[14].

Namun lagi-lagi bahwa kebebasan pers telah ikut berperan bagi tegaknya demokrasi dan pemerintahan yang bersih. Terbongkarnya berbagai penyimpangan yang dilakukan para pemegang kekuasaan adalah salah satu contoh nyata manfaat kebebasan pers. Manfaat lain adalah terbukanya berbagai wacana penting dalam kehidupan berbangsa yang bisa dimasuki oleh publik dalam arti seluas-luasnya-sesuatu yang musykil di sebuah negara dengan pers yang ditindas.

Harus diakui kritik atas kebebasan pers di Indonesia karena pers kita yang terlalu liberal seperti Amerika Serikat. Banyak tokoh pers nasional mengungkapkan kekhawatirannya itu. Tjipta Lesmana (2005) misalnya mengatakan dalam era reformasi yang penuh euphoria kebebasan terjadi kecenderungan pada sementara wartawan kita untuk bersikap arogan. Mereka selalu menonjolkan kebebasan daripada tanggungjawab sosial. Tarman Azzman (2005), mengatakan munculnya sikap arogansi sebagian komunitas pers yang benar benar terkesan betapa sangat bebasnya pers Indonesia melebihi kebebasan pers di Amerika Serikat, Australia, Jepang dan Eropa Barat sekalipun. Pengacara OC Kaligis (2005) juga ikut memberikan catatan khusus tentang kebebasan pers di Indonesia. Menurutnya situasi kebebasan pers sekarang kiranya sama dengan situasi pada masa transisi di Amerika Serikat. Kebebasan yang yang tidak bisa lepas dari kepentingan kepentingan politik, kelompok atau orang-orang tertentu.

Bukan berarti bahwa sejumlah tudingan dari berbagai kalangan tadi tidak diperhatikan masyarakat pers. Menurut amatan penulis pers Indonesia sendiri juga sudah menyadari bahwa masih ada begitu banyak masalah yang dihadapi. Namun, jalan keluar terbaik bukanlah dengan menerapkan berbagai pembatasan baru terhadap pers, melainkan dengan memberikan kesempatan kepada kalangan pers sendiri untuk berbenah, terutama menyangkut profesionalisme dan etika wartawan, serta perbaikan tingkat kesejahteraan para pekerja pers.

Sejumlah langkah konkret sebenarnya sudah dilakukan atas inisiatif kalangan pers, misalnya berjenis pelatihan jurnalistik oleh berbagai lembaga yang bergerak di bidang pemberdayaan media. Tentu saja pembenahan ini tak mungkin tuntas seketika, terlebih jika diingat bahwa pers Indonesia masih dalam proses belajar, untuk mengisi kemerdekaan yang dinikmati delapan tahun terakhir ini, setelah dibungkam lebih dari 30 tahun[15].

C. Kesimpulan
Pers sebagai bagian bagian dari jaringan komunikasi diharapkan memerankan fungsinya sebagi media yang bebas dan bertanggungjawab. Demikian pula dalam menyajikan berita, pers dituntut mengikuti mekanisme dan ketentuan hukum, sebab tidak menutup kemungkinan pekerja pers yang tidak mematuhi kaidah hukum yang berlaku akan dituntut oleh pihak yang dirugikan untuk mempertanggung jawabkan isi pemberitaan. Di dalam penyajian berita, pers dituntut mengikuti kode etik yang telah disepakati bersama, mengedepankan kepentingan masyarakat dan tidak bias.

Sebagai institusi sosial, lembaga pers memiliki peran signifikan dalam memajukan kehidupan masyarakat terutama pada perannya untuk menghadirkan kembali realitas yang terjadi ditengah-tengah kehidupan masyarakat dalam bentuk kemasan informasi yang sehat bagi masyarakat. Bagaimanapun, informasi yang disajikan oleh pers tetap saja terkait dengan hasil interpretasi para penulisnya sehingga tidak jarang informasi yang disajikan sering dikritisi dan dianggap mendahui azas praduga tak bersalah.

Oleh karena itu untuk menjamin profesionalisme para aktor komunikasi tidak cukup hanya mengandalkan nurani wartawan karena yang dihadapi adalah sistem. Mekanisme Kontrol dari dalam profesi sendiri dalam bentuk deontologi jurnalisme[16] juga dianggap masih belum menjawab kepentingan masyarakat konsumen sendiri.

Sebuah media massa dapat mendukung semua kebijakan pemerintah, menentang, atau bahkan mendua terhadap suatu kebijakan. Bisa saja bersikap pro atau kontra. Media massa juga dapat menentukan diri sebagai lawan pemerintah atau bahkan sebagai pengawal kebijakan pemerintah. Suara (kebijakan) pemerintah bisa menjadi bahan perbincangan, perdebatan dan interpretasi oleh figur-figur yang terlibat dalam pengelolaan media.

Sebagai penutup perlu penulis sampaikan bahwa perbandingan kebebasan pers di Indonesia dengan Amerika Serikat, sebenarnya kurang relevan mengingat adanya kesenjangan tingkat kehidupan demokrasi yang begitu besar antara kedua negara. Negara Amerika Serikat memiliki tradisi demokrasi lebih dua abad sedangkan Indonesia baru kurang dari sepuluh tahun. Perbedaan lainnya bahwa di Amerika Serikat tidak ada undang undang pers seperti di Indonesia. Mereka hanya mengakomodir kebebasan berpendapat dan memperoleh informasi hanya dalam undang undang dasar Amerika Serikat yang telah beberapa kali di amandemen. Di sana itu perihal etika, profesionalisme, kebenaran isi berita, tanggungjawab pers akan bersentuhan dengan hukum negara.

Khusus untuk Indnoesia, kebebasan pers itu tidak hanya menjadi concern atau monopoli orang-orang pers saja, tetapi juga menjadi urusan warga masyarakat. Soalnya, kebebasan pers bisa disalahgunakan oleh orang-orang pers itu sendiri yaitu ketika pers, baik pada atas nama individu jurnalis, pemilik media, akan berselingkuh dengan kekuasaan politik dan kapitaslime.

Atmakusumah Astraatmaja[17] secara arif menyatakan bahwa pers memang tidak akan bisa memuaskan semua pihak. Walau mengakui berbagai keluhan dan ungkapan kekecewaan yang ditujukan kepada pers mengandung kebenaran, namun Atmakusumah menghimbau agar masyarakat tidak memandang sinis pers. Ada perbedaan karakteristik dan kepentingan yang berbeda-beda dari pers. Oleh karena itu yang bisa dilakukan adalah menghimbau agar pers yang majemuk tersebut dapat menggunakan standar jurnalisme profesional.

Imbauan tokoh senior pers Indonesia tersebut menjadi penting, mengingat sebagai konsumen media, sekaligus sebagai pemilik kebebasan pers, publik memiliki motivasi dan kepentingan sendiri terhadap sajian-sajian informasi pers. Namun sebagai pelayan yang baik, pada hakikatnya pers harus memberikan segala kebutuhan yang beragam dari publik tersebut.

 

Michel FOUCAULT (MADNESS & CIVILIZATION)

Filed under: Bahasa — agustin @ 1:35 pm

Sejarah Awal
Foucault lahir tanggal 15 Oktober 1926 di Poitiers sebagai Paul – Michel Foucault dalam sebuah keluuarga yang terpandang. Ayahnya, Paul Foucault, adalah seorang ahli bedah terkanal dan mengharapkan anaknya mengikuti jejaknya. Pandidikan awalnya adalah gabungan antara keberhasilan dan kemampuna otak yang pas-pasan sampai akhirnya ia masuk ke Kolege Jasuit Saint-Stanislas, di mana ia meraih sukses. Selama masa ini Poitiers adalah bagian dari Prancis Vichy dan kemudian jatuh ke tangan pendudukan Jerman. Setelah perang dunia dua, Foucault masuk Ecole Normale Superieure (rue d’ulm), gerbang tradisional untuk karir akademik di bidang humanistic di Prancis.

Ecole Normale Superieure
Kehidupan pribadi Foucault selama di Ecole Normale sangat susah – ia menderita depresi akut. Ia berkonsultasi dengan psikiater. Karena hal ini ia menjadi tertarik dengan psikologi. Ia mendapatkan lisensi (tingkatan) di bidang psikologi, persyaratan baru di Prancis saat itu, sebagai tambahan tingkatan filsafat. Ia bergabung dengan lengan klinis psikologi, yang membuat ia mengenal pemikir2 seperti Ludwig Binswanger.
Seperti kebanyakan pengikut ‘Noemalien’, ia bergabung dengan Patrati Komunis prancis Dari 1950 – 1953. Ia dilantik menjadi anggota partai oleh gurunya Louis Althusser. Ia kelura karena ia peduli dengan pa yang terjadi di Uni Soviet di bawah Stalin. Banyak orang, seperti sejarahwan Emmanuel Le Roy Ladurie, melaporkan bahwa ia tidak pernah berpartisipasi aktif dalm penjara, tyidak seperti anggota partai yang lain.

Karir Awal
Foucault gagal pada kesazationtuan pertama tahun 1950 tapi mencoba lagi dan berhasil setahun kemudian. Setelah periode kuliah yang singkat di Ecole Normale, ia mendapatkan posisi di University Of Lille, di mana dari 1053 -1954 ia mengajar psikologi. Tahun 1954 ia menerbitkan buku pertamanya, Maladie mentale et personalite, sebuah karya yang kemudian disangkal. Jelaslah bahwa ia tidak suka mengajar dan ia mengasingkan diri untuk waktu yang lama dari Prancis. Tahun 1954 Foucault mengabdi Prancis sebagai delegasi kebudayaan untuk Universitas Uppsala di Swedia (kedudkan ini diatur oleh Georges Dumezil, teman dan guru). Tahun 1958 Foucault meninggalkan Uppsal untuk posisi singkat di Universitas Warsawa Dan di universitas Hamburg.
Foucault kembali ke Prancis tahun 1960 untuk melengkapi gelar doktornya dan dan mengajar filsafat di Universitas Clermont-Ferrand. Di sana ia bertemu Daniel Deffert, di mana mereka memiliki hubungan non monogamy hingga akhir hidupnya. Tahun 1961 ia meraih gelar Doktor dengan mengumpulkan dua thesisnya (dalam bahasa Prancis): thesis utamanya Folie et derision: Historie de la foliea l’alge classique (kegilaan dan ketidakwarasan: Sejarah Kegilaan pada Jaman Klasik) dan yang kedua.
Setelah Defert ditempatkan di Tunisia untuk tugas militer Foucault mengisi sebuah posisi di Universitas Tunisia tahun 1965. Tahun 1966, ia menerbitkan Les Mots et les choses (Aturan tentang hal-hal) yang terkenal karena panjang dan kerumitannya. Ini berlangsung saat tingginya ketertarikan orang akan strukturalisme dan Foucault dengan cepat bergabung dengan pelajar-pelajar seperti Jacques Lacan, Claude Levi-Strausss, dan Roland Barthes sebagai pemula, gelombang pemikir terakhir yang meruntuhkan eksistensialisme yang dipopulerkan oleh Jean Paul Satre. Foucault menyusun sejumlah komentar skeptis tentang Marxisme, yang menghina sejumlah kritikus sayap kiri, tapi ia dengan cepat merasa bosan menjadi seorang strukturalis. Ia tetap di Tunisia selama kerusuhan mahasiswa bulan Mei 1968 yang disebabkan oleh seorang mahasiswa pribumi yang memberontak diawal tahun itu. Musim gugur 1968, ia kembali ke Perancis dan menerbitkan L’archeologie du savoir (Arkeologi Pengetahuan) sebuah respon metodologikal terhadap pengkritik-pengkritiknya tahun 1969.

Setelah 1968: Foucault si aktivis
Tahun 1968, pemerintah Perancis menbangun sebuah Universitas percobaan, Paris VIII, di Vincennes. Foucault menjadi pemimpin jurusan Filsafat pada bulan Desember tahun itu dan ditunjuk oleh alumnus-alumnis muda (seperti Judith Miller) yang secara radikal menuntut Menteri Pendidikan untuk menarik akreditasi jurusan. Foucault juga bergabung dengan mahasiswa-mahasiswa menduduki Gedung Administrasi dan bentrok dengan polisi. Masa jabatan Foucault di Vincennes berlangsung singkat karena di tahun 1970 ia terpilih menjadi orang Perancis yang sangat istimewa dalam dunia pendidikan, the College de France, sebagai Prof Sejarah Sistem Pemikiran. Lingkupan politiknya meningkat, setelah Defert bergabung dengan Ultra-Maoist Gauche Proletarienne (GP). Foucault menolong dalam menemukan kelompok informasi penjara (GIP) untuk menyediakan jalur bagi para napi dalam menyuarakan kepedulian mereka. Ini merupakan sebuah tanda politisasi dari karya-karya Foucault dalam sebuah buku : SP (Disiplin dan Hukuman) yang meneritakan struktur kekuasaan kecil yang berkembang dalam masyarakat Barat sejak abad ke-18 dengan focus pada penjara dan sekolah.

Almarhum Foucault
Di akhir tahun 1970-an aktivias-aktivitas politik di Perancis terhenti, karena kekecewaan oaring-orang sayap kiri militant. Sejumlah Maoist muda meninggalkan kepercayaan mereka dan menjadi pengikut filsuf-filsuf baru yang sering menyebut Foucault sebagai seorang pencetus sebuah status di mana Foucault telah menyatukan banyak pikiran. Dalam periode ini Foucault memulai proyek 6 edisi Sejarah Seksualitas yang tidak pernah selesai. Edisi pertama: keinginan akan ilmu pengetahuan diterbitkan tahun 1976. Edisi kedua dan ketiga tidak muncul selama 8 tahun, dan kedua edisi ini mengejutkan pembaca dengan subjek-subjeknya (bahasa Yunani Kuno dan eks Latin), pendekatan dan gayanya yang secara khusus difokuskan oleh Fouault pada subjeknya, sebuah konsep yang diabaikan sebelumnya.
Foucault mulai menghabiskan banyak waktu di Amerika, di Universitas Buffalo (di mana ia mengajar sejak tiba di AS tahun 1970) dan khususnya di UC BARKELEY. Tahun 1975, ia meraih LSD di ZPIDVN Park, yang menjadi pengalaman terbaik dalam hidupnya. Tahun 1979, ia melakukan tour ke Iran melakukan wawancara yang ekstensif dengan politikus-politikus yang mendukung pemerintah interim yang baru, setelah revolusi Iran. Banyak essainya tentang Iran, yang diterbitkan di Koran Italia CDS, baru muncul di Perancis 1984 dan di Inggris 2005. Essai-essai ini menimbulkan kontroversi, dengan banyak komentator yang berargumen bahwa Foucault tidak mempunyai pola-pola kritik yang cukup tentang rezim-rezim yang baru itu.
Foucault meninggal karena sebuah penyakit yang berhubungan dengan AIDS di Paris 25 Juni 1984. Ia adalah orang perancis terkenal yang meninggal karena penmyakit AIDS. Sedikit yang diketahui tentang wabah ini pada saat itu dan kejadian menuai kontroversi. Di halaman awal artikel Le Monde dilaporkan kematiannya, tidak disebutkan tentang AIDS walaupun secara tersirat kematiannya disebabkan oleh infeksi yang besar. Sebelum kematiannya, Foucault menghancurkan banyak sebagain besar manuskripnya dan keinginan-keinginan yang melarang penyebarluasan dari apa yang telah ia teliti.

KARYA-KARYA
KEGILAAN DAN PERADABAN (1961)
Edisi bahasa Inggris dari Madness dan Civilization adalah sebuah versi pendek dari FED :HFAC, yang diterbitkan tahun 1961. Ini adalah buku pertama Foucault yang ditulis saat ia menjabat sebagai Direktur MDF di Swedia. Buku ini mencoba ide-ide, penerapan-penerapan, institusi seni dan sastra yang berhubungan dengan kegilaan dalam sejarah barat.
Foucault memulai sejarahnya di abad pertengahan, mencatat tentang pengucilan social dan fisik para penderita kusta. Ia berpendapat bahwa dengan tingkat ketidakberadaan para penderita lepra, kegilaan muncul di antara mereka. Kapal kebodohan di abad 15 adalah sebuah versi sastra dari praktik pengucilan, dijuduli itu karena karena banyak orang gila yang diasingkan dengan menggunakan kapal. Di abad 17, Eropa berada dalm sebuah gerakan yang dideskripsikan oleh Foucault sebagai Kurungan Besar, anggota2 yang “tidak beralasan” dari populasi yang diasingkan dan diinstitusikan. Di abad 18 kegilaan menjadi kelihatan sebagai sebuah pengulangan dari alasan dan pada akhirnya di abad 19 sebagai gangguan mental.
Foucault juga berpendapat bahwa kegilaaan didiamkan oleh alasan, menghilangkan kekuasaanya untuk menandakan batas aturand social dan untuk menunjukan kebenaran. Ia menguji munculnya perlakuan ilmiah dan kemanusiaan terhadap orang gila, yang diyulis tangan oleh Phillipe Pinel dan Samual Tuke. Ia menyatakan bahwa perlakuan yang baru adalah fakta kurangnya pewrhatian dari pada metode sebelumnya. Refleksi Tuke therhadap para orang gila terdiri dari penghukuman orang gila sampai mereka bertindak rasional. Perlakuan Pinel, secara sama, terhadap orang gila berkembang menjadi terapi keseganan, termasuk perlakuan seperti mandi pendinginan dan penggunaan baju pengikat. Dalam pandangan Foucault, perlakuan seperti ini meningkatakan sikap brutal hingga pola penghakiman dan penghukuman yang diinternalkan oleh pasien.

Kelahiran klinik
Buku kedua Foucault, kelahiran klinik: sebuah arkeologi dari persepsi medis diterbitkan 1963 di Prancis dan diterjemahkan ke Inggris tahun 1973. buku ini meniru jejak pengembangan profesi medis dan kususnya pada institusi klinik. Motifnya adalah konsep penghargaan medis (sebuah konsep yang telah mengumpulkan banyak perhatian dari pembaca bahsa Inggris, karena terjemahan tidak wajar Alan Sheridan, “tatapan medis”)

Urutan hal/masalah
Buku LM…karangan Foucault diterbitkan tahun 1966 di Prancis. diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan oleh Patheon Books tahun 1970 ndengan judul: urutan masalah; sebuah arkeologi ilmu penegtahuan manusia.
Buku ini diawali dengan sebuah diskusi yang panjang dari lukisan Diego Velazquez Las Meninas dan kerumitan dari pengaturan efek cahaya, penampilan dan efek terdembunyinya. Lalu menegmbangkan pengakuan utamanya: bahwa semua periode sejarah memiliki kondisi yang menggarisbawahi kebenaran yang mengkonstitusikan apa yang dapat diterima sebagai, sebagai contoh, wacana ilmiah. Foucault berargumen bahwa wacan kondisi ini telah berubah, dalam dalam perubahan yang relative tiba2 dan luas, dari suatu periode pistemi ke periode yang lain.
Kritik Foucault terhadap nilai2 Renaissance dalam LMLC sangat berpengaruh pada sejarah kebudayaan. Berbsagai perubahan kesadaran yang ia tunjukan dalam bab pertama buku itu telah menuntun bebrapa mahasiswa untuk meneliti dasar untuk pengetahuan masa ini sama seperti mengkritik proyeksi kategori pengetahuan kedalam [elaharan yang tetap secara intrinsik tidak dapat dipahami sebagi ganti pengtahuan yang bersejarah.
Buku ini telah membuat ia menjadi tokoh intelektual terkenal di Prancis.

Arkeologi pengetahuan.
Diterbitkan pada 1969, volume ini adalah perjalanan utama kedalam pendekatan. Ia menulis agar bisa mengetahui tulisan LMLC. Ini mereferensikan filosofi filsafat analisis anglo American, kususnya teory tindakan tutur.
Foucault merujuk analisisnya pada “pernyataan” unit dasar dari wacana yang ia percayai tidak mengacuhkan poin ini. Pernyataan ini adalah terjemahan dari bahasa Prancis “Enonce”(yang diucapkan atau diekspresi), yang mempunyai arti yang aneh bagi bai Foucault. “Enonce” bagi Foucault berarti (bagian) proporsi, ucapan, tindak tutur yang penuh arti. Dalam pengertian ini, pernyataan itu sendiri proporsi, pengucapan, dan tindak tutur. Pernyataan2 itu menghasilkan sebuah jaringan aturan yang yang membangun apa yang penuh arti, dan ini adalah aturan2 prasyarat bagi proprosi, ucapan, dan tindak tutur agar memiliki arti. Parnyataan2 itu juga adalah ‘kegiatan’. Berdasarkan apakah hal2 itu mematuhi atura2 arti, sebuah kalimat yang benar secara struktur yang mungkin masih kurang artinya, kalimat yang salah mungkin mungkin lebuh penuh makna. Pernyataan2 yang berdasrkan kondidsi yang muncul dan ada dalam sebuah lapangan wacana. Ini adalah kumpulan2 pernyataan2, barnama bentuk yang tidak bersambung, terhadap apa yang Foucault maksudkan sebagai analisisnya. Penting untuk dicatat bahwa Foucault mengulangi pernyataan bahwa analisis yang ia garisi mungkin hanyalah satu taktik, dan ia tidak mencari sesuatu untuk menggantikan cara lain dari menganalisis wacana atau membuatnya menjadi salah.
Menurut Dreyfus & Rabinow, Foucault tidak hanya menggolongkan isu tentang kebenaran (cf. Husser) tapi ia juga menggolongkan isu tentang arti. Dari pada mencari arti yang lebih mendalam diatas wacana, atau mencari sumber arti dalam subyek transcendental, Foucault menganalisis kondisi yang tidak bersambung dan praktis dari keberadan kebenaran dan meaning. Untuk menunjukan prinsip produk arti dan kebenaran dalam berbagai bentuk2 yang tidak berhubungan, ia memerinci bagaimana klaim kebenaran memunculkan selama berbagai jangka waktu dalam dasar2 yang terucap dan tertulis dalam periode waktu. Ia secara khusus mendiskripsikan Renaisans, masa pencerahan, dan abad2 ke-20. Ia berusaha untuk menghindari semua interpretasi dan untuk meninggalkan semua tujuan Hermeunitik. Ini bukan berarti bahwa Foucault mencela arti dan kebenaran, tapi hanya arti dan kebnaran yang berdasarkan pada arti histories yang tidak berhubungan dan praktis dari arti dan kebenaran. Misalnya, walaupun mereka sangat berbeda selama masa pencerahan sebagai lawan dari modernitas, sungguh ada arti arti, kebenaran, dan perlakuan yang benar dari kegilaan dalam masa2 itu. Sikap ini mengijinkan Foucault untuk berpindah dari sudut antropologi, meninggalakan konsep priory alam dari subyek manusia, dan memfokus pada peran praktik yang tak berhubungan dalam menetapkan subyektivitas.
Menemukan sebuah arti yang lebih mendalam di balik wacana menuntun Foucault pada strukturalisme. Tapi, sementara strukturalis mencari hemogenitas dalam kesatuan yang tak berhubungan Foucault memfokuskan pada perbedaan. Sebagai ganti menanyakan apa konstitusi kekususan yang dipertanyakan orang Eropa ia menanyakan apa perbedaan yang berkembang di dalamnya dalam suatu kurun waktu. OKI, ia menolak menguji pernyataan di luar peran dalam sebuah formasi yang tak berhubungan, dan tak pernah menguji pernyataan2 yang mungkin muncul dari formasi itu. Identitasnya sebagai seporang sejarahwan muncul di sini, ketika ia hanya tertarik dalam menganalisis pernyataan dalam konteks hidtorisnya. Semua sistem dan aturan yang tak berhunganya menentukan identitas pernyataaanya. Tapi, sebuah formasi yang tak berhubungan secara kontinu mengembangkan pernyataan2 baru, dan beberapa dari panduan perubahan dalam formasi yang tak berhubungan ini yang mungki atau mungkin tidak dilaksanakan. OKI, untuk menggambarkan formasi yang tak berhubungan ini, Foucault juga memfokus pada wacana yang terbuang dan terlupakan yang tak pernah terjadi untuk mengubah formasi yang tak berhubungan ini. Perbedaan oada wacana dominan juga menggamabarkan ini. Dalam cara ini, sesorang bisa menggambarkan sistem tertentu yang menetukan tipe mana dari pernyataan yang muncul.

Disiplin dan Hukuman.
Buku ini dibuka dengan seuah deskrisdi grafis yang dari eksekusi brutal tahun 1775 terhadap Robert-Francois Damiens, yang mencoba membunuh Lousi XV. Ia juga memunculkan foto tak berwarna tentang keadaan sebuah penjara 80 tahun kemudian. Foucault lalu menyakan perubahan hukuman dalam masyarakat Prancis terhadap napi yang telah berjembang dalam waktu yang sedemikian singkat. Ini adalh gambaran dari dua perbedaan bentuk dari “Tekologi hukumannya” Foucault. Bentuk pertama adalah Hukuman Monarki, yang meliputi hukuman yang menindas rakyat melalui pertujukan penyiksaan dan eksekusi di depan public. Yang kedua adalah “hukuman Kedisiplinan” yang kata Foucault adalah praktis di jaman modern. Hukuman ini memberikan kekuatan “professional” terhadap napi, yang sangat bermartabat karena lama hukuman tergantung pada pengadilan professional.
Foucault juga membandingkan masyarakat mocern dengan rancngan penjara “Panoptikon”nya Jeremy Bentham: dalam Panoptikon, penjaga tunggal dapat mengawasi banyak napi saat penjaga itu tak terlihat. Penjara bawah tanah yang gelap di jaman pra modern telah digantikan dengan penjara modern yang terang, tapi Foucault menuduh bahwa “yang terlihat adalah jebakan”. Melalui yang terlihat ini, Foucault menulis bahwa masyarakat modern melatih sistim control kekuatan dan pengetahuan. Meningkatkan kemampuan melihat menuntun pada kekuatan yang ditempatkan pada peningkatan level individual yang ditunjukan oleh kemungkinan bagi institusi untuk menjebak individu2 melalui hidup mereka. Foucault menyarankan bahwa sebuah “Carceral Continuum” mengalir dalam masyarakat modern, dari penjara berkeamanan tinggi, melaui akomodai yang terjamin, probasi, pekerja social, polis, dan guru bagi kehidupan rumah tangga dan kerja kita setiap hari. Semuanya dihubungkan oleh supervisi beberapa orang oleh orang lain.

Sejarah Sexualitas (SS).
Serial SS diterbitkan sebelum kematiannya tahin 1984. Seri pertama dan yang sangat deireferensi, Keinginan akan pengetahuan, diterbitkan di Prancis tahun 1976, dan diterjemahkan tahun 1977 fokus utamanya adalah dua abad terakir, dan fungsi sexual sebagai sebuah analisis kekuatan yang berhubungan dengan munculnya sebuah pengetahuan sexualiatas dan munculnya biopower di barat. Dalam seri ini, ia menyerang “hipotesis penyiksaan”, sebuah kepercayaan yang berkembang luas bahwa kita memiliki, secara kusus sejak abad 19, “penyiksaan” tuntunan sexual alamiah kita. Ia menunjukan bahwa kita mengingat sebagai “penyiksaan” sexualitas sebenarnya megatur sexualitas sebagai sebuah nilai yang muncul dari dari identitas kita, dan menhasilkan sebuah perkembangbiakan dari wacana dalam subyek.

Edisi seri kedua, penggunaan kenikmatan dan kepedulian terhadap diri berhubungan peran sex dalam funia Yunani dan Roma kuno. Dua buku ini diterbitkan tahun 1984, tahun kematian Foucaault, dengan volume kedua yang diterjemahkan pada tahun 1985, dan yang ketiga di tahun 1986. Dalam seri tulisannya dari tahun 1970 hingga 1980 foucault memperluas analisisnya tentang pemerintah ke dalm sebuah teknik dan prosedur yang lebih lebar yang dirancang untuk meluruskan tindakan manusia, yang meliputi sebuah pertimbangan baru dari “ujian kesadaran” dan pengakuan dalam karya satra Kristen awal. Tema2 karya sastra Kristen awal nampaknya mendominasi karya Foucault, selama ia mempelajari karya sastra Roma dan Yunani, hingga akhir hidupnya. Tapi, kematian Foucaultmeninggalkan pekerjaaan yang belum diselesaikan, dan rencana empat volume dari Sejarah Sexualitas kristennya yang tidak pernah diteritkan. Keempat volume itu diberi judul Pengakuan Daging. Volume2 ini hampir selesai sebelum kematiannya dan sebuah salinan pribadinya yang dipegang Foucault sebagai arsip. Volume itu tidak dapat diterbitkan karena dibatasi oleh keinginan Foucault.
Pengajaran
Dari 1970 sampai kematiannya tahun 1984, dari Januari sampai Maret setiap tahun kecuali tahun 1974, Foucault memberikan kursus public dan seminar2 minggun di KOlege De France sebagi pemenuhan jabatanya sebagai rector di tempat itu. Semua pengajarannya direkam dan transkrip2nya pun masih ada. Tahun 1997 pengajaran2 ini diterbitkan dalm bahasa Prancis bersama enam volume yang sudah diketahui sebelumnya. Lebih jauh lagi, lima set pengajarannya telah ada di Inggris.: Kekuatan Psikiatrik, Abnormal, Masyarakat Harus dipertahankan, Keamanan, Teritori, Populasi dan Hermenetik subyek. Catatan2 pengjarannya di UC Berkeley juga terbit dengan judul Pembicaraan Tanpa Takut.
• Masyarakat harus dipertahankan
Dalam pengajaran ini, Foucault menganalisis wacana sejarah dan politik dari “pejuangan Ras”.
• Keamanan, teritori, populasi
Dam pengajaran ini, ini, Foucault menguraikan teori tentang kepemerintahan, dan menunjukkan perbedaan antara kedaulatan, kedisiplinan, dan kepemerintahan sebagai perbedaan modalitas dari kekuasaan negara. Ia berargumen bahwa kekuasaan pemerintah negara dapat secarra genetis dihubungkan dengan filosofi negara abad 17 “raison d’etat” dan konsep pastoral Kristen bad pertengahan tentang kekuasaan. Pengesampingan maksudnya dalam seri ini adalm untuk berargumen bahwa negara tidak memilikisebuah kategori analisis semenonjol seperti yang kita pikirkan.
Terminology
Istilah2 yang dicipta atau didefenisikan kembali oleh Foucault, yang ditejemahkan
Biopower/biopolitik
Institusi kedisiplinan
Epistemi
Genealogy
Kepemerintahan
Heteropia
Parrhesia
Kekuasaan
Rasisme negara
Pandangan medis
Wacana

Foucault Kiritisisme
Banyak pemikir telah mengkritisi Focault, termasuk CT,NC,…Haydan White, diantaranya. Sementara setiap pemikir ini mengangkat isu dengan aspek yang berbeda dari karya2 Foucault, banyak yang membagi orientasi bahwa Foucault menolak nilai2 dan filosofi2 yang diasosiasikan dengan pencerahan sementara dengan serentak dan secara rahasia mengandalkan pada hal2 itu. Kritis2 ini berkembang, contohnya, pada Derida. Dikatakan bahwa kegagalan ini juga membuat nya merasa nihi, atau bahwa ia tidak bisa dianggapa serius dalam pengingkaranya tentang niai normative karena kenyataannya karya2nya menyaratkannya.
Penggunaan informasi historis oleh Foucault juga dikritisi, dengan klaim bahwa ia secara berkala menyalahrepresentasikan hal2, menemukan faktanya salah, memperhiutngkan dari data yang salah, atau secara sedrhana memperbaikinya. Sebagai contoh, beberapa sejarahwan berpendapat bahwa Foucaoult menyebut “Kurungan Besar” dalam “kegilaan dan Peradaban” bukanlah fakta yang terjadi selama abad 17, tapi agaknya terjadi pada abad 19., yang mendapmparkan keraguan dalam asosiasi Foucault tentang kurungan bagi orang gila dengan masa pencerahan.
Sosiolog Andrew Scull menyatakan bahwa ribua ctatan kaik yang tidak diterjemahkan dalm Kegilaan Dan Peradaban mengungkapakan standar yang lemah dari pendidkan dalm karya Foucault. “ini seakan2 sebuah abad dari karya pendidikan yang mtidak menghasilkan sesuatu yang menarik dan nilai2 dari proyek Foucault. Apa yang menarik perhatiannya, secra selektif menambangi abad 19. Ini berarti bahwa menguraikan konstruksi intelektual yang dibangun oleh goncangan fondasi empiris, dan, tidak mengejutkan, banyak yang menjadi salah.
Kegilaan dan Peradaban juga secara dikritisi oleh Derida yang mengangkat isu dengan bacaan Foucault dari Rene Descartes Meditasi pada Filsafat Pertama. Kritis Derida membuat mereka memutuskan persahabatan dan menandai awal dari 15 tahun perseteruan diantara mereka. Mereka berbaikan lagi pada 1980an.
Ada juga pertukaran penting dengan Lawrence Stones dan George Steiner pada subyek ketepatan sejarah Foucault, juga sebuah diskusi debgan sejarahwan Jacques Leonard tentang Disiplin Dan Hukuman. Sosiolg Richard Hamilton juga berpendapat melawan Disiplin dan Hukuman, menganjurkan bahwa baian besar dari buku itu tidak koheren atau invalid. Contohnya, Foucault menempatkan perhatian yang besar pada Panoptikonnya George Bentha, menyarankan bahwa itu adalah model bagi penjara modern, tapi Hamilton mencatat bahwa Panoptikon tidak pernah dibangun dan hanya ada satu penjara yang menggunakan model itu. Tapi Dalam buku itu, Foucault tidak menganjurkan bahwa Panoptikonnya Bentham telah dikonstruksikan, dan tidak menganjurkan bahwa penjara itu secara explicit memodelkan mereka sendiri setelah itu. Ia juga menjelaskan bahaya relevan yang diasosiasikan dengan konsep abstrak dari Panoptiko dalam diskusinya mengenai Masyarakat Kedisiplinan.

Perubahan cara pandang Foucault
Penelitian tentang pemikiran Foucault sangat rumit karena ide2mya berkembang dan berubah seiring waktu. Bagaiman ide2 itu berubah dan pada level mana terdapat hal2 dari berbagai perselisihan antara kaum terpelajar mengenai pikirannya. Beberpa berpendapat bahwa di atas perubahan dari hal2 itu terdapat tema tertentu yang mengalir dalam semua karyanya. Davif Gauntlet berpebdapat:
Tak ada salah falam perubahan pendekatan Foucault: dalam wawancara tahun 1982 ia menyatakan bahwa “saat orang mengatakan bahwa “ anda memikirkan ini beberapa yahun lalu dan sekarang anda mengatakan sesuatu yang lain,” jawabanku adalah…anda kira saya telah mengejarkan semuanya di tahun2 itu untuk mengatakan hal2 yang sama dan tidak untuk diubah?” (2000:131) sikap ini sesuai dengan pendekataan teoritikalnya – bahwa pengetahuan harusnya mentrransformasikan diri. Ketika ditanya di tahun 1982 apakah dia seorang filsuf, sejarajhwan, strukturalis, atau Marxis, ia menjawab “ saya ptikir tidak perlu menegetahui siapa saya sebenarnya. Hal menarik utama dalm hidup dan kerja adalah menjadi orang lain yang bukan dirimu sendiri sebelumnya’ (Martin, 1988:9)
Dalam nada yang sama, Foucault lebih suka untuk tidak menyebt bahwa ia tidak menghadirkan sebuah blok yang koheren dan tiada waktu mengenai pengetahuan>
Ia mengatakan:
Saya senag buku saya menjadi sebuah kotak alat di man buku2 lain bisa bergabung untuk menemukan sebuah alat yamh bisa mereka gunakan tapi yang mereka inginkan di area mereka sendiri…….saya lebih suka judul seri yang ingin saya tulis dalam sistim kedisipkinan brguna untuk seorang pengajar, pengawas, magister, dan obyektor kesadaran. Saya tidak menulis untuk pendengar, saya menulis untuk pengguna bukan pembaca.

Orang2 yang mempengaruhi Foucault
• AS – sebuah sekolah berbahas Prancis mengenai penulisan sejarah yang mempemgaruhi Foucault di awal kehidupan intelektualnya
• LA – filsuf strukturalis Marxist dan guru seta seniornya
• RB – kritikus sastra strukturalis Prancis yang sangat dekat dengannya
• GB – filsuf Prancis, novelis, dan kritikus yang tulisannya tentang transgresi, komunikasi, dan sexualitas sangt mempengaruhi Foucault.
• MB – kritikus sastra dan novelis yang tulisannya tentang kritik yang tidak erpolemik memiliki imbas yang kuat pada Foucault.
• JLB – penulis Argentina yang cerpennya sering mengacu pada karya2 Foucault.
• GC – penulis TNP dan orabg yang sangt mempengaruhi karya2 Foucault tentang ilmu medis dan penyimpangan.
• GD – filsuf prancis teman dan sekutu Foucault pada awal 1970.
• GD – strukturalis mitologis Prancis, yang dikenal dengan rekonstruksiny tentang Mitologi indo arya
• MH – filsuf jerman yang pengaruhnya sangat terkenal pada masa Pasca PerNG Prancis.
• JH – Penganut Hegel Prancis dan guru Khagne Foucault
• KM – mendominasinya dari 1945 – 1970an . kadang2 ia menggunakan aspek2 ideologi Marxist.
• MMP – filsuf Prancis dan guru instrumental fenomenalogi yang mempopulerkan Strukturalis dari Sausure.
• FN – filsuf jerman yang karyanya mempengaruhi konsep Foucault tentang masyarakat dan kekuasaan. Di saat akhir hidupnya Foucault menyatakan: “Saya pengikut Nitse”. Keduanya lahir pada tanggal yang sama 15 Oktober.

 

Sumpah Pemuda Dalam Realitas Masa Kini Oktober 29, 2009

Filed under: Uncategorized — agustin @ 10:06 am

Hanya tinggal beberapa hari lagi bangsa ini memasuki sebuah tanggal yang memiliki makna mendalam bagi bangsa ini. Tanggal 28 Oktober merupakan tonggak bersejarah bagi sebuah perjuangan. Pada tanggal tersebut sekian puluh tahun yang lalu segenap komponen bangsa, para dan pemudi menyatakan sebuah suci bersejarah , menjadi pancang bagi gerakan besar untuk merebut kemerdekaan.

menjadi sebuah roh dan keinsyafan yang melandasi berdirinya sebuah negara bernama Indonesia. Kepelbagaian dan keberagaman latarbelakang yang mengikatkan diri dalam satu ikatan suci, membentuk sebuah kekuatan yang maha dahsyat mengaliri segenap jiwa anak bangsa pada masa itu. Bentuk tindak lanjut dari sikap pantang menyerah meraih cita-cita.

Berbahasa satu, berbangsa satu, bertanahair satu bukanlah sekedar kata yang remeh, melainkan terkandung makna totalitas aminnya sebuah perlawanan demi kedaulatan dan martabat. Memiliki konsekuensi logis kerelaan dalam berkorban guna mencapai cita-cita bersama yaitu terbebas dari penjajahan. Penjajahan pada konteks masa itu adalah penjajahan dari bangsa asing yang menduduki dan mengekang peri kehidupan.

Roh telah diletakkan untuk melandasi, kemerdekaan dari penjajah asing telah direbut, bangsa telah berdiri, kompas perjalanan cita-cita bangsa telah disiapkan para pendiri negara, pandangan hidup telah disertakan, sekarang apakah semua itu telah dimaknai sesuai adanya?… pertanyaan besar bagi penyelenggara bangsa ini.

Cita-cita bangsa yang terkandung di dalam pembukaan UUD 1945 bermuara pada kesejahteraan dan kemakmuran rakyat serta segenap tumpah darah, muara harapan yang dijiwai . Kompas yang harus dijadikan panduan dalam mengelola bangsa dan negara ini, siapapun yang memimpin. Negara harus menjadi motivator dan penggerak segenap lapisan tanpa meninggalkan kewajiban dan tanggung jawab yang harus dipikul sesuai amanat pembukaan UUD 1945 tersebut.

Pada konteks , timbul sebuah pertanyaan ”Masihkah Roh Mengaliri Segenap Komponen Bangsa atau Masih Adakah Roh Itu Kini?”

Realitas saat ini menunjukkan adanya sebuah keprihatinan mendalam, tumbuh suburnya pengkhianatan terhadap cita-cita bangsa yang terkandung dalam , Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila sebagai Way of Life. Kekuasaan yang dimiliki bukan untuk mensejahterakan dan memakmurkan segenap rakyat melainkan penindasan-penindasan secara terselubung. Uang telah menjadi berhala yang paling berharga, melalui uang dan kekuasaan melakukan perampasan harapan dan peri kehidupan rakyat. lalu peran wakil rakyat ada dimana. Sekelompok badut-badut politik bermain-main dengan intriknya, seperti itik-itik yang tergelitik. Rakyat yang semestinya subyek bagi para penguasa telah dijadikan sekedar obyek bagi kepentingan-kepentingan sesaat.

Pemaksaan kehendak penyeragaman dari keberagaman yang membentuk negri ini, korupsi dimana-mana secara sukaria, pelecehan hak-hak pelayanan publik, penistaan terhadap kebebasan beragama dan menyembah TUHAN menurut keyakinan yang dianut masing-masing adalah beberapa contoh buah dari para pengkhianat-pengkhianat bangsa yang semakin tumbuh subur bagai jamur di musim penghujan. Pertanyaan yang muncul kemudian ”Apa dan dimana peran negara?” Negara harus tegas, negara harus berani, negara jangan mau didikte kelompok dan kepentingan sesaat, negara harus memposisikan diri sebagai negara yang melandaskan diri pada Roh , Pembukaan dan UUD 1945 serta Pancasila.

Beberapa waktu yang lalu bangsa ini telah melewati sebuah periode Suksesi Kepemimpinan yang berjalan dengan damai, meski masih terdapat banyak kekurangan, patut diapresiasi secara bersama sebagai bangsa yang beradab. Suksesi telah memunculkan wajah-wajah baru untuk memimpin, semoga para wajah baru tersebut insyaf bahwa seorang Pemimpin itu Pelayan bagi rakyatnya. Sudah seharusnya Roh , Cita-cita luhur bangsa dalam Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila sebagai Way of Life bangsa melekat kuat disetiap nafas jiwa para pemimpin tersebut. Memposisikan dirinya sebagai bagian dari rakyat yang dipercaya negara untuk mensejahterakan dan memakmurkan rakyat, melindungi rakyat dan menempatkan rakyat sebagai subyek yang dilayani adalah tindakan bijak. Pertanyaannya maukah mereka?…

Semoga Roh itu tidak pergi dari bumi pertiwi tercinta ini, haruskah ada jilid kedua?…. Selamat merenungkan makna , selamat Hari … bangkitlah segenap , maknai bumi pertiwi tercinta…

 

Korelasi Bahasa dalam Manifestasi Hegemoni Politik

Filed under: Uncategorized — agustin @ 6:33 am

Bahasa takkan pernah lepas dari wacana politik. Memilih memakai bahasa atau kata-kata tertentu, menekankan pengertian tertentu atas kata, bahkan memakai dialek tertentu tak lain dari berpolitik dalam maknanya yang paling dalam dan luas. Apabila disepakati bahwa sebagian tindakan manusia termasuk tindakan-tindakan politik, dilakukan lewat dan dipengaruhi oleh penggunaan dan artikulasi kebahasaan maka sudah sewajarnya apabila bahasa menempati posisi penting dalam telaah ilmu politik dan sosial. Khususnya dalam telaah politik, akhir-akhir ini pemahaman lewat wacana bahasa (language discourse) semakin diakui pentingnya sebuah makna bahasa, terutama setelah muncul pasca-modernisme dan pasca-struktralisme dalam kanca filsafat dan epistemologi modern.
Bahasa dan praktik kebahasaan tak lagi dimengerti dalam konteks perspektif konvensional, yakni sebagai alat dan medium netral yang dipakai untuk menjelaskan kenyataan sosial politik. Namun, semakin disadari bahwa bahasa, di dalam dirinya tampil sebagai representasi ruang bagi penggelaran (deployment) berbagai macam kuasa. Oleh karena itu, bahasa lantas dilihat pula sebagai salah satu ruang (space) tempat konflik-konflik berbagai kepentingan, kekuatan, kuasa, serta proses hegemoni dan hegemoni tandingan (counter hegemony) yang terjadi.
Berpolitik pada hakikatnya adalah mengintegrasikan diri pada lingkaran persikerasan antarkelompok masyarakat yang berkepentingan demi perluasan kekuasaan. Tujuannya adalah agar kelompok tertentu yang terdominasi dapat keluar dan lepas dari kungkungan dan cengkeraman kelompok pendominasi. Kekuasaan sendiri sesungguhnya merujuk pada daya dan kekuatan, untuk mengendalikan maksud tertentu demi tujuan yang telah diformulasikan. Kehendak untuk lepas dari lingkaran kekuasaan kelompok masyarakat yang mendominasi, sering berlanjut pada keinginan melibas kembali lingkaran kekuasaan yang semula mendominasinya. Maka yang terjadi lalu rantai persikerasan yang sering tidak ada ujung pangkalnya. Dalam konteks bahasa Indonesia, bahasa-bahasa daerah yang tersebar di seluruh penjuru nusantara juga memiliki kekuatan tertentu di setiap wilayahnya. Setiap bahasa daerah memiliki keberagaman daya dan kekuatan yang termanifestasi di dalam besar kecilnya jumlah populasi penutur bahasa daerah tersebut.
Jika dikilasbalikkan dengan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, ketika bahasa Melayu Riau diangkat menjadi bahasa persatuan, sesungguhnya ketika itu getar dan geliat bahasa-bahasa daerah banyak terjadi kendatipun mereka tetap terbelenggu. Setiap bahasa daerah berjuang keras untuk melawan dominasi bahasa nasional, yakni bahasa Melayu Riau yang telah beralih status menjadi bahasa Indonesia. Ada indikasi perjuangan bahasa-bahasa daerah yang kuat dan hingga kini terus meletup-letup muncul dalam manifestasi kosakata bahasa daerah di dalam pemakaian bahasa Indonesia.
Merunut dari perspektif sejarahnya, bahasa tidak pernah terlepas dari politik-kekuasaan. Maksudnya, selalu ada manifestasi-manifestasi khusus dari denyut kekuasaan dan politik itu di dalam sosok bahasa tertentu seperti halnya bahasa Indonesia. Tetapi yang banyak terjadi sekarang ini adalah bahwa cara elit-elit politik kita berwacana dengan bahasa Indonesia seringkali tidak tepat benar. Dengan bahasa lainnya, rekayasa bahasa politik-kekuasaan telah dilakukan oleh elit-elit politik kita baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Dengan rekayasa bahasa itu, mereka telah membangun hegemoni terhadap pemakaian bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia juga telah dieksploitasi sedemikian rupa demi tujuan politik dan kekuasaan. Manifestasi hegemoni pemakaian bahasa Indonesia tersebut tampak dominan sekali dalam fakta akronimisasi dan pemakaian bentuk eufimisme terhadap istilah-istilah politik yang berlebihan. Penggunaan kedua bidang linguistik tersebut sepertinya telah terlalu jauh berlebihan dan terbukti telah lepas dari kendali pada saat-saat sekarang ini. Bahkan pemakaian akronim dan eufimisme itu telah jauh melampaui hakikat akronim dan eufimisme sendiri dalam persejarahan linguistik. Pesan-pesan politik banyak sekali yang terwujud dalam rupa-rupa bentuk akronim. Kadar kandungan propagandanya jauh lebih besar daripada kejujuran pesannya sendiri. Lihatlah terminologi politik yang latah sekali digunakan dalam beberapa kali pelaksanaan pemilihan umum. Terminologi “Luber”, kependekan dari langsung-umum-bebas-rahasia, dipropagandakan dengan kuat sekali dan barangkali masih menggema pada pelaksanaan pemilu mendatang. Tetapi kenyataannya, betulkah pemilu-pemilu tersebut benar-benar sesuai dengan pesan yang diakronimkan? Itulah realitas politisasi vokaluber yang telah para terjadi dalam masyarakat Indonesia.
Eufimisme juga terbukti telah dipakai latah dalam aktivitas berbahasa Indonesia dengan serta-merta menyiratkan bahwa sesungguhnya masyarakat kita takut dengan fakta social budayanya sendiri. Ambillah contoh pemakaian kata ‘korupsi’ yang dialihalihkan dengan komersialisasi jabatan, kata ‘teror’ yang dialihalihkan ancaman keselamatan. Juga, kekurangan air sebagai bentuk eufimisme dari kata ‘kekeringan’, kekurangan makanan sebagai bentuk halus dari kata ‘kelaparan’. Pemakaian eufimisme semacam itu telah jauh dari sekadar kesantunan linguistik, tetapi sarat dengan aneka muatan politis. Jadi jelas, bahwa dengan pemakaian bahasa yang demikian telah terjadilah politisasi makna bahasa. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana kata ‘karyawan’ atau ‘wiraswastawan’ digunakan dalam dokumen-dokumen pemerintahan untuk menggantikan kata ‘penggangguran’? Kalau berani tulus dan jujur, barangkali mereka yang sesungguhnya pencopet, pencuri, atau bahkan teroris sekalipun akan mendapatkan sebutan ‘wiraswastawan’. Nah, kalau ini yang dimaksudkan celakalah para pemerhati bahasa (linguistik) di Indonesia. Inilah kondisi dan situasi riil yang sekarang terjadi terhadap penjungkirbalikkan makna bahasa!(*)

 

Asal Muasal Suku Dayak

Filed under: Budaya — agustin @ 3:36 am
Tags:

Tentang asal mula suku bangsa Dayak, banyak teori yang diterima adalah teori imigrasi bangsa China dari Provinsi Yunan di Cina Selatan. Penduduk Yunan ber-imigrasi besar-besaran (dalam kelompok kecil) di perkirakan pada tahun 3000-1500 SM (SM). Sebagian dari mereka mengembara ke Tumasik dan semenanjung Melayu, sebelum ke wilayah Indonesia. Sebagian lainnya melewati Hainan,Taiwan dan filipina.

Pada migrasi gelombang pertama yang oleh beberapa ahli disebut proto-melayu, datanglah kelompok negroid dan weddid. Sedangkan gelombang kedua, dalam jumlah yang lebih besar di sebut Deutero-Melayu. Para migran Deutero-Melayu kemudia menghuni wilayah pantai Kalimantan dan disebut suku Melayu. Proto-melayu dan Deutero-melayu sebenarnya berasal dari negeri yang sama.

Menurut H.TH. Fisher, migrasi dari asia terjadi pada fase pertama zaman Tretier. Saat itu, benua Asia dan pulau Kalimantan yang merupakan bagian nusantara masih menyatu, yang memungkinkan ras mongoloid dari asia mengembara melalui daratan dan sampai di Kalimantan dengan melintasi pegunungan yang sekarang disebut pegunungan Muller-Schwaner.

Dari pegungungan itulah berasal sungai-sungai besar seluruh Kalimantan. Diperkirakan, dalam rentang waktu yang lama, mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977-1978)

Cerita selanjutnya suku Dayak adalah tentang bagaimana mereka menghadapi gelombang-gelombang kelompok lain yang datang ke Kalimantan. Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak, sering disebut ”Nansarunai Usak Jawa”, yakni sebuah kerajaan Dayak Nansarunai yang hancur oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389 (Fridolin Ukur,1971). Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman.

Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasala dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1608). Sebagian besar suku Dayak memeluk Islam tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai orang Melayu atau orang Banjar. Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman di Kalimantan Tengah, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan Lawas dan Watang Balangan. Sebagain lagi terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang Sultan Kesultanan Banjar yang terkenal adalah Lambung Mangkurat sebenarnya adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum)

Tidak hanya dari nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa Tionghoa diperkirakan mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming tahun 1368-1643. Dari manuskrip berhuruf kanji disebutkan bahwa kota yang pertama di kunjungi adalah Banjarmasin. Tetapi masih belum jelas apakah bangsa Tionghoa datang pada era Bajarmasin (dibawah hegemoni Majapahit) atau di era Islam. Kedatangan bangsa Tionghoa tidak mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung karena langsung karena mereka hanya berdagang, terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan orang Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring malawen, belanga (guci) dan peralatan keramik (Departeman Pendidikan dan Kebudayaan,1977-1978)

Bahkan sumber lain menyebutkan sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Raja Yung Lo mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah pimpinan Chang Ho, dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah menerima orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut membawa juga barang dagangan diantaranya candu, sutera, barang pecah belah seperti piring, cangkir, mangkok dan guci (Sarwoto kertodipoero,1963)