Agustinussungkalang's Blog

Just another WordPress.com weblog

Sumpah Pemuda Dalam Realitas Masa Kini Oktober 29, 2009

Filed under: Uncategorized — agustin @ 10:06 am

Hanya tinggal beberapa hari lagi bangsa ini memasuki sebuah tanggal yang memiliki makna mendalam bagi bangsa ini. Tanggal 28 Oktober merupakan tonggak bersejarah bagi sebuah perjuangan. Pada tanggal tersebut sekian puluh tahun yang lalu segenap komponen bangsa, para dan pemudi menyatakan sebuah suci bersejarah , menjadi pancang bagi gerakan besar untuk merebut kemerdekaan.

menjadi sebuah roh dan keinsyafan yang melandasi berdirinya sebuah negara bernama Indonesia. Kepelbagaian dan keberagaman latarbelakang yang mengikatkan diri dalam satu ikatan suci, membentuk sebuah kekuatan yang maha dahsyat mengaliri segenap jiwa anak bangsa pada masa itu. Bentuk tindak lanjut dari sikap pantang menyerah meraih cita-cita.

Berbahasa satu, berbangsa satu, bertanahair satu bukanlah sekedar kata yang remeh, melainkan terkandung makna totalitas aminnya sebuah perlawanan demi kedaulatan dan martabat. Memiliki konsekuensi logis kerelaan dalam berkorban guna mencapai cita-cita bersama yaitu terbebas dari penjajahan. Penjajahan pada konteks masa itu adalah penjajahan dari bangsa asing yang menduduki dan mengekang peri kehidupan.

Roh telah diletakkan untuk melandasi, kemerdekaan dari penjajah asing telah direbut, bangsa telah berdiri, kompas perjalanan cita-cita bangsa telah disiapkan para pendiri negara, pandangan hidup telah disertakan, sekarang apakah semua itu telah dimaknai sesuai adanya?… pertanyaan besar bagi penyelenggara bangsa ini.

Cita-cita bangsa yang terkandung di dalam pembukaan UUD 1945 bermuara pada kesejahteraan dan kemakmuran rakyat serta segenap tumpah darah, muara harapan yang dijiwai . Kompas yang harus dijadikan panduan dalam mengelola bangsa dan negara ini, siapapun yang memimpin. Negara harus menjadi motivator dan penggerak segenap lapisan tanpa meninggalkan kewajiban dan tanggung jawab yang harus dipikul sesuai amanat pembukaan UUD 1945 tersebut.

Pada konteks , timbul sebuah pertanyaan ”Masihkah Roh Mengaliri Segenap Komponen Bangsa atau Masih Adakah Roh Itu Kini?”

Realitas saat ini menunjukkan adanya sebuah keprihatinan mendalam, tumbuh suburnya pengkhianatan terhadap cita-cita bangsa yang terkandung dalam , Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila sebagai Way of Life. Kekuasaan yang dimiliki bukan untuk mensejahterakan dan memakmurkan segenap rakyat melainkan penindasan-penindasan secara terselubung. Uang telah menjadi berhala yang paling berharga, melalui uang dan kekuasaan melakukan perampasan harapan dan peri kehidupan rakyat. lalu peran wakil rakyat ada dimana. Sekelompok badut-badut politik bermain-main dengan intriknya, seperti itik-itik yang tergelitik. Rakyat yang semestinya subyek bagi para penguasa telah dijadikan sekedar obyek bagi kepentingan-kepentingan sesaat.

Pemaksaan kehendak penyeragaman dari keberagaman yang membentuk negri ini, korupsi dimana-mana secara sukaria, pelecehan hak-hak pelayanan publik, penistaan terhadap kebebasan beragama dan menyembah TUHAN menurut keyakinan yang dianut masing-masing adalah beberapa contoh buah dari para pengkhianat-pengkhianat bangsa yang semakin tumbuh subur bagai jamur di musim penghujan. Pertanyaan yang muncul kemudian ”Apa dan dimana peran negara?” Negara harus tegas, negara harus berani, negara jangan mau didikte kelompok dan kepentingan sesaat, negara harus memposisikan diri sebagai negara yang melandaskan diri pada Roh , Pembukaan dan UUD 1945 serta Pancasila.

Beberapa waktu yang lalu bangsa ini telah melewati sebuah periode Suksesi Kepemimpinan yang berjalan dengan damai, meski masih terdapat banyak kekurangan, patut diapresiasi secara bersama sebagai bangsa yang beradab. Suksesi telah memunculkan wajah-wajah baru untuk memimpin, semoga para wajah baru tersebut insyaf bahwa seorang Pemimpin itu Pelayan bagi rakyatnya. Sudah seharusnya Roh , Cita-cita luhur bangsa dalam Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila sebagai Way of Life bangsa melekat kuat disetiap nafas jiwa para pemimpin tersebut. Memposisikan dirinya sebagai bagian dari rakyat yang dipercaya negara untuk mensejahterakan dan memakmurkan rakyat, melindungi rakyat dan menempatkan rakyat sebagai subyek yang dilayani adalah tindakan bijak. Pertanyaannya maukah mereka?…

Semoga Roh itu tidak pergi dari bumi pertiwi tercinta ini, haruskah ada jilid kedua?…. Selamat merenungkan makna , selamat Hari … bangkitlah segenap , maknai bumi pertiwi tercinta…

 

Korelasi Bahasa dalam Manifestasi Hegemoni Politik

Filed under: Uncategorized — agustin @ 6:33 am

Bahasa takkan pernah lepas dari wacana politik. Memilih memakai bahasa atau kata-kata tertentu, menekankan pengertian tertentu atas kata, bahkan memakai dialek tertentu tak lain dari berpolitik dalam maknanya yang paling dalam dan luas. Apabila disepakati bahwa sebagian tindakan manusia termasuk tindakan-tindakan politik, dilakukan lewat dan dipengaruhi oleh penggunaan dan artikulasi kebahasaan maka sudah sewajarnya apabila bahasa menempati posisi penting dalam telaah ilmu politik dan sosial. Khususnya dalam telaah politik, akhir-akhir ini pemahaman lewat wacana bahasa (language discourse) semakin diakui pentingnya sebuah makna bahasa, terutama setelah muncul pasca-modernisme dan pasca-struktralisme dalam kanca filsafat dan epistemologi modern.
Bahasa dan praktik kebahasaan tak lagi dimengerti dalam konteks perspektif konvensional, yakni sebagai alat dan medium netral yang dipakai untuk menjelaskan kenyataan sosial politik. Namun, semakin disadari bahwa bahasa, di dalam dirinya tampil sebagai representasi ruang bagi penggelaran (deployment) berbagai macam kuasa. Oleh karena itu, bahasa lantas dilihat pula sebagai salah satu ruang (space) tempat konflik-konflik berbagai kepentingan, kekuatan, kuasa, serta proses hegemoni dan hegemoni tandingan (counter hegemony) yang terjadi.
Berpolitik pada hakikatnya adalah mengintegrasikan diri pada lingkaran persikerasan antarkelompok masyarakat yang berkepentingan demi perluasan kekuasaan. Tujuannya adalah agar kelompok tertentu yang terdominasi dapat keluar dan lepas dari kungkungan dan cengkeraman kelompok pendominasi. Kekuasaan sendiri sesungguhnya merujuk pada daya dan kekuatan, untuk mengendalikan maksud tertentu demi tujuan yang telah diformulasikan. Kehendak untuk lepas dari lingkaran kekuasaan kelompok masyarakat yang mendominasi, sering berlanjut pada keinginan melibas kembali lingkaran kekuasaan yang semula mendominasinya. Maka yang terjadi lalu rantai persikerasan yang sering tidak ada ujung pangkalnya. Dalam konteks bahasa Indonesia, bahasa-bahasa daerah yang tersebar di seluruh penjuru nusantara juga memiliki kekuatan tertentu di setiap wilayahnya. Setiap bahasa daerah memiliki keberagaman daya dan kekuatan yang termanifestasi di dalam besar kecilnya jumlah populasi penutur bahasa daerah tersebut.
Jika dikilasbalikkan dengan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, ketika bahasa Melayu Riau diangkat menjadi bahasa persatuan, sesungguhnya ketika itu getar dan geliat bahasa-bahasa daerah banyak terjadi kendatipun mereka tetap terbelenggu. Setiap bahasa daerah berjuang keras untuk melawan dominasi bahasa nasional, yakni bahasa Melayu Riau yang telah beralih status menjadi bahasa Indonesia. Ada indikasi perjuangan bahasa-bahasa daerah yang kuat dan hingga kini terus meletup-letup muncul dalam manifestasi kosakata bahasa daerah di dalam pemakaian bahasa Indonesia.
Merunut dari perspektif sejarahnya, bahasa tidak pernah terlepas dari politik-kekuasaan. Maksudnya, selalu ada manifestasi-manifestasi khusus dari denyut kekuasaan dan politik itu di dalam sosok bahasa tertentu seperti halnya bahasa Indonesia. Tetapi yang banyak terjadi sekarang ini adalah bahwa cara elit-elit politik kita berwacana dengan bahasa Indonesia seringkali tidak tepat benar. Dengan bahasa lainnya, rekayasa bahasa politik-kekuasaan telah dilakukan oleh elit-elit politik kita baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Dengan rekayasa bahasa itu, mereka telah membangun hegemoni terhadap pemakaian bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia juga telah dieksploitasi sedemikian rupa demi tujuan politik dan kekuasaan. Manifestasi hegemoni pemakaian bahasa Indonesia tersebut tampak dominan sekali dalam fakta akronimisasi dan pemakaian bentuk eufimisme terhadap istilah-istilah politik yang berlebihan. Penggunaan kedua bidang linguistik tersebut sepertinya telah terlalu jauh berlebihan dan terbukti telah lepas dari kendali pada saat-saat sekarang ini. Bahkan pemakaian akronim dan eufimisme itu telah jauh melampaui hakikat akronim dan eufimisme sendiri dalam persejarahan linguistik. Pesan-pesan politik banyak sekali yang terwujud dalam rupa-rupa bentuk akronim. Kadar kandungan propagandanya jauh lebih besar daripada kejujuran pesannya sendiri. Lihatlah terminologi politik yang latah sekali digunakan dalam beberapa kali pelaksanaan pemilihan umum. Terminologi “Luber”, kependekan dari langsung-umum-bebas-rahasia, dipropagandakan dengan kuat sekali dan barangkali masih menggema pada pelaksanaan pemilu mendatang. Tetapi kenyataannya, betulkah pemilu-pemilu tersebut benar-benar sesuai dengan pesan yang diakronimkan? Itulah realitas politisasi vokaluber yang telah para terjadi dalam masyarakat Indonesia.
Eufimisme juga terbukti telah dipakai latah dalam aktivitas berbahasa Indonesia dengan serta-merta menyiratkan bahwa sesungguhnya masyarakat kita takut dengan fakta social budayanya sendiri. Ambillah contoh pemakaian kata ‘korupsi’ yang dialihalihkan dengan komersialisasi jabatan, kata ‘teror’ yang dialihalihkan ancaman keselamatan. Juga, kekurangan air sebagai bentuk eufimisme dari kata ‘kekeringan’, kekurangan makanan sebagai bentuk halus dari kata ‘kelaparan’. Pemakaian eufimisme semacam itu telah jauh dari sekadar kesantunan linguistik, tetapi sarat dengan aneka muatan politis. Jadi jelas, bahwa dengan pemakaian bahasa yang demikian telah terjadilah politisasi makna bahasa. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana kata ‘karyawan’ atau ‘wiraswastawan’ digunakan dalam dokumen-dokumen pemerintahan untuk menggantikan kata ‘penggangguran’? Kalau berani tulus dan jujur, barangkali mereka yang sesungguhnya pencopet, pencuri, atau bahkan teroris sekalipun akan mendapatkan sebutan ‘wiraswastawan’. Nah, kalau ini yang dimaksudkan celakalah para pemerhati bahasa (linguistik) di Indonesia. Inilah kondisi dan situasi riil yang sekarang terjadi terhadap penjungkirbalikkan makna bahasa!(*)

 

Asal Muasal Suku Dayak

Filed under: Budaya — agustin @ 3:36 am
Tags:

Tentang asal mula suku bangsa Dayak, banyak teori yang diterima adalah teori imigrasi bangsa China dari Provinsi Yunan di Cina Selatan. Penduduk Yunan ber-imigrasi besar-besaran (dalam kelompok kecil) di perkirakan pada tahun 3000-1500 SM (SM). Sebagian dari mereka mengembara ke Tumasik dan semenanjung Melayu, sebelum ke wilayah Indonesia. Sebagian lainnya melewati Hainan,Taiwan dan filipina.

Pada migrasi gelombang pertama yang oleh beberapa ahli disebut proto-melayu, datanglah kelompok negroid dan weddid. Sedangkan gelombang kedua, dalam jumlah yang lebih besar di sebut Deutero-Melayu. Para migran Deutero-Melayu kemudia menghuni wilayah pantai Kalimantan dan disebut suku Melayu. Proto-melayu dan Deutero-melayu sebenarnya berasal dari negeri yang sama.

Menurut H.TH. Fisher, migrasi dari asia terjadi pada fase pertama zaman Tretier. Saat itu, benua Asia dan pulau Kalimantan yang merupakan bagian nusantara masih menyatu, yang memungkinkan ras mongoloid dari asia mengembara melalui daratan dan sampai di Kalimantan dengan melintasi pegunungan yang sekarang disebut pegunungan Muller-Schwaner.

Dari pegungungan itulah berasal sungai-sungai besar seluruh Kalimantan. Diperkirakan, dalam rentang waktu yang lama, mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977-1978)

Cerita selanjutnya suku Dayak adalah tentang bagaimana mereka menghadapi gelombang-gelombang kelompok lain yang datang ke Kalimantan. Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak, sering disebut ”Nansarunai Usak Jawa”, yakni sebuah kerajaan Dayak Nansarunai yang hancur oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389 (Fridolin Ukur,1971). Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman.

Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasala dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1608). Sebagian besar suku Dayak memeluk Islam tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai orang Melayu atau orang Banjar. Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman di Kalimantan Tengah, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan Lawas dan Watang Balangan. Sebagain lagi terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang Sultan Kesultanan Banjar yang terkenal adalah Lambung Mangkurat sebenarnya adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum)

Tidak hanya dari nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa Tionghoa diperkirakan mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming tahun 1368-1643. Dari manuskrip berhuruf kanji disebutkan bahwa kota yang pertama di kunjungi adalah Banjarmasin. Tetapi masih belum jelas apakah bangsa Tionghoa datang pada era Bajarmasin (dibawah hegemoni Majapahit) atau di era Islam. Kedatangan bangsa Tionghoa tidak mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung karena langsung karena mereka hanya berdagang, terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan orang Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring malawen, belanga (guci) dan peralatan keramik (Departeman Pendidikan dan Kebudayaan,1977-1978)

Bahkan sumber lain menyebutkan sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Raja Yung Lo mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah pimpinan Chang Ho, dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah menerima orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut membawa juga barang dagangan diantaranya candu, sutera, barang pecah belah seperti piring, cangkir, mangkok dan guci (Sarwoto kertodipoero,1963)